Tanah Karo: Gunung Sinabung, yang baru saja meletus dini hari kemarin (29/8), kembali menyemburkan asap setinggi 2000 meter ke udara, sekitar pukul 06.30 WIB tadi pagi (30/8). Warga mendengar gemuruh dan sedikit getaran hanya beberapa saat setelah melakukan shalat Subuh.
Meski berjarak cukup jauh, warga di tempat pengungsian dihimbau untuk menggunakan masker, karena letusan kali ini menghasilkan asap dan material vulkanik lainnya.
Menurut laporan koresponden berdikari online di tempat pengunsian, warga yang baru saja terbangun sempat dikagetkan oleh letusan kedua ini. Sebagian besar keluar dari tenda-tenda pengungsian untuk menyaksikan secara langsung apa yang sedang terjadi.
Menurut sejumlah sumber, kepulan asap tebal dan abu vulkanik mulai menutupi hutan dan ladang milik warga di lereng gunung Sinabung.
Tingginya semburan dan asap tebal yang ditimbulkan dikhawatirkan akan mengganggu jalur penerbangan. “Ini akan tergantung pada arah mana angin akan bertiup. Jika angina bertiup ke arah utara, maka itu akan mengganggu penerbangan internasional, dan jika angina bertiup ke arah timur, maka itu akan mengganggu penerbangan domestik,” demikian dikatakan Bambang Ervan, jubir Kementerian Perhubungan, seperti dikutip kantor berita Xinhua.
Jumlah Pengungsi Meningkat
Sementara itu, paska letusan gunung Sinabung yang kedua tadi pagi, jumlah warga Tanah Karo yang mengungsi diperkirakan bertambah banyak. Pasalnya, beberapa warga yang sebelumnya bertahan untuk menjaga rumah mereka, kini memilih menyingkir ke tempat yang lebih aman.
Sebagian besar pengungsi ini mengalir ke daerah-daerah sekitar yang lebih aman, seperti Kabanjahe, Brastagi, Tigabinanga dan Singamanik.
Sejauh ini, berdasarkan pantauan koresponden kami, keterbatasan jumlah posko yang disediakan membuat sejumlah warga mencari tempat lain untuk berlindung. Namun, karena berada di luar posko resmi yang disediakan pemerintah, para pengungsi ini kurang terjangkau bantuan.
Selain itu, sebagian pengungsi mengeluh sesak napas akibat pengaruh asap tebal dan bau belerang paska letusan gunung berapi. (rh)
Selengkapnya...
Gunung Sinabung Kembali Semburkan Asap
Lima Aktivis Mogok Makan di Penjara
Sabtu, 22 Mei 2010 | 16.14 WIB | Kabar Rakyat
BUOL, Berdikari Online: Lima aktivis Aliansi Rakyat Buol Bersatu (AKBAR) yang ditahan di Polres Buol, Sabtu (22/5), melakukan aksi mogok makan. Aksi ini dilakukan sebagai protes atas perlakuan diskriminatif yang mereka dapatkan dan kekecewaan atas sikap kepolisian yang menolak penangguhan penahanan.
Kelima aktivis yang melakukan mogok makan, antara lain Muh. Zukri (LSM Kokait), Rusli K. Oli'I (PRD), Jufri. S (PPMIB-Palu), Moh. Taufik Intam (LMND), Arlan Rahman (LMND). Aksi mogok makan dimulai sejak kemarin, Jumat (21/5) hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Menurut Rusli K.Oli'I, ketua PRD Buol, Polisi tidak berhak melakukan penahanan terhadap aktivis gerakan rakyat yang sedang melawan rejim korup seperti Amran Batalipu. "Melakukan perlawanan terhadap rejim korup adalah wajib hukumnya. Melindungi koruptur justru perbuatan tercela," tegasnya.
Rusli menjelaskan, pihak kepolisian terlihat tidak netral saat menangani aksi massa gerakan rakyat dari AKBAR, karena polisi hanya menangkapi mahasiswa dan rakyat, namun membiarkan preman bersenjata menyerang warga.
Rusli juga menyesalkan sikap polisi menolak penangguhan penahanan. Sebab, menurut dia, sejak 18 Mei 2010, sedikitnya 16 anggota DPRD Buol sudah siap menjadi penjamin atas penangguhan penahanan aktivis AKBAR. Polisi juga tidak memberikan jawaban atas permintaan penangguhan penahanan tersebut. (Rh)
Selengkapnya...
Belasungkawa
Segenap keluarga besar Berdikari Online menyatakan rasa berbelasungkawa sebesar-besarnya atas meninggalnya NURDIANA, aktivis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Pekanbaru, Riau. Beliau berpulang pada hari Minggu, 23 mei 2010, pukul 04.30 WIB.
Beliau adalah sosok ibu yang sangat aktif dalam perjuangan, terutama dalam memperjuangkan nasib pedagang jagung bakar di di purna MTQ.
Semoga nilai-nilai dan semangat perjuangan Ibu NURDIANA tetap berlanjut di tengah-tengah kita. Dan, semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan ketegaran.
Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas/Hari ini tumbuh dari masamu/Tangan kami yang neneruskan/Kerja agung jauh hidupmu/Kami tancapkan kata mulia/Hidup penuh harapan/Suluh dinyalakan dalam malammu/Kami yang meneruskan sebagai pelanjut angkatan.
(Syair di pusara Ali Archam, ditulis oleh Henriette Roland Holst)
Atas Nama Redaksi Berdikari Online
Rudi Hartono (Pemimpin Redaksi)
Selengkapnya...
Perlawanan Rakyat Thailan Menyebar Luas
Kamis, 20 Mei 2010 | 14.12 WIB | Dunia Bergerak
BANGKOK, Berdikari Online: Kerusuhan menyebar luas di seluruh negeri sesaat setelah militer menggunakan kekerasan penuh untuk mengambil Ratchaprasong, pusat rally pendukung kaos merah, Rabu (19/5). Kota Bangkok berubah menjadi kepulan asap dari gedung-gedung dan kantor pemerintah yang dibakar oleh massa.
Dalam aksi penyerbuan kemarin, media lokal menyebutkan bahwa 3 orang aktivis kaos merah dan seorang wartawan Italia kembali tewas ditembak aparat militer. Selain itu, untuk menghindari kekejaman militer yang terus berlanjut, 7 orang pemimpin kaos merah menyerahkan diri di markas besar kepolisian.
Mereka yang menyerahkan diri adalah Jatuporn Prompan, Natthawut Saikua, Weng Tojirakarn, Wiphuthalaeeng Pattanaphumthai, Korkaew Phikulthong, Yosvaris Chuklom, dan Nisit Sinthuprai.
Meski begitu, perlawanan massa tidak terhenti dan malah berkembang luas. Massa membakar sejumlah gedung-gedung bisnis dan perkantoran milik pemerintah. Bursa Efek Bangkok menjadi sasaran pertama ketika massa bergerak mundur. Selain itu, Centre World, department store terbesar kedua di Asia Tenggara, juga hangus dibakar massa.
Massa juga membakar kantor Channel 3 TV, sehingga para karyawannya harus dievakuasi menggunakan helicopter.
Kerusuhan juga menyebar ke pedesaan utara dan bagian timur laut Thailand, tempat yang menjadi basis utama pendukung kaos merah. Media setempat melaporkan, bahwa massa membakar kantor-kantor pemerintah di Udon Thani dan merusak balai-kota di Khon Kaen.
Du Chiang Mai, kampung halaman perdana menteri terguling Thaksin Shinawatra, massa membakar rumah seorang petinggi militer yang berada di kompleks perumahan gubernur.
Ada teori yang menyebar luas mengatakan, "kekerasan militer telah menyebarkan kebencian luas di kalangan rakyat dan rakyat yang benci bersedia mengambil jalan gerilya".
Dalam sebuah tayangan video di Facebook diperlihatkan bagaimana rakyat Thailand bahu-membahu membangun pertahanan berupan ban bekas dan barikade-barikade untuk menghalau militer. Ratusan pengendara motor telah menjadi pengangkut karung berisi pasir dan ban-ban bekas.
Disamping itu, video-video ini juga memperlihatkan bahwa perlawanan sudah menyebar luas di kalangan rakyat miskin dan menengah, tidak lagi sebatas pendukung kaos merah. Rakyat terlihat sudah siap melakukan perlawanan penuh dan berjangka panjang terhadap rejim Abhisit. (Rh)
Selengkapnya...
Organisasi Pemuda Didirikan Untuk Menuntaskan Perjuangan Nasional
Minggu, 23 Mei 2010 | 21.29 WIB | Kabar Juang
JAKARTA, Berdikari Online: Para pemuda Indonesia dituntut untuk terlibat aktif dalam perjuangan menuntaskan revolusi nasional demokratis di Indonesia. Untuk menjalankan tugas itu, para pemuda diharapkan mulai berhimpun, belajar, dan berjuang di tengah-tengah rakyat.
Hal itu disampaikan oleh Dika Muhammad saat berbicara di depan peserta Kongres pertama Pemuda Jakarta Raya di Grand Menteng, Jakarta, Minggu (23/5). "Tidak ada alasan bagi pemuda untuk menghindar atau berpangku atas persoalan nasional," ujarnya.
Kongres ini diikuti oleh sedikitnya seratusan pemuda dari Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tangerang. Sebagian besar peserta merupakan remaja atau pelajar Sekolah Menengah Umum (SMU). Mereka tampak antusias dalam mengikuti beberapa sesi diskusi kongres.
Di sesi organisasi, para peserta menyepakati organisasi ini bernama Barisan Muda Pejuang Jakarta Raya dan disingkat Bang-Jaya. Kongres juga memutuskan menunjuk Dika Muhammad sebagai ketua umum dan Vincentius Rubo sebagai Sekretaris Jenderal.
Bang-jaya bercita-cita untuk menghapuskan penindasan manusia atas manusia dan penindasan bangsa atas bangsa (exploitation de l'homme par l'homme et de nation par nation). Dalam konteks sekarang, Bang-jaya akan terlibat aktif dalam perjuangan anti-neoliberalisme dan anti-imperialisme.
"Neolib kurang ajar, Bang-jaya hajar," teriak peserta kongres berkali-kali. Sebagai tindak lanjut dari kongres ini, menurut Dika Muhammad, Bang-jaya akan mengorganisasikan pemuda-pemuda Indonesia di kampung dan gang-gang. (Ulf)
Selengkapnya...
Nyanyian Untuk Nasionalis Generasi Awal
Sabtu, 03 April 2010 | 15.54 WIB | Budaya
Oleh: Iwan Komindo*)
Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas/Hari ini tumbuh dari masamu/Tangan kami yang neneruskan/Kerja agung jauh hidupmu/Kami tancapkan kata mulia/Hidup penuh harapan/Suluh dinyalakan dalam malammu/Kami yang meneruskan sebagai pelanjut angkatan.
Syair tersebut terukir di makam Ali Archam di Digul Atas, tempat pengasingan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia . Lokasinya terletak di tepi Sungai Digul Hilir, Tanah Papua bagian Selatan.
Sebagai tempat pengasingan, wilayah seluas 10.000 hektare itu memang terasing. Hutannya lebat berawa-rawa dan hanya bisa ditempuh lewat jalur laut. Di sana , wabah malaria merajalela memakan banyak korban. Ali Archam salah satunya.
Sejarah mencatat, Digul Atas dipersiapkan secara buru-buru oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menampung tawanan pemberontakan PKI tahun 1926. Di kemudian hari, tokoh-tokoh pergerakan seperti Sayuti Melik, Mohammad Hatta, Muchtar Lutffi, Ilyas Yacub hingga Sutan Syahrir juga merasakan pahitnya tanah Digul.
Syair di pusara Ali Archam ditulis oleh Henriette Roland Holst, seorang penyair wanita dari Belanda yang membenci sepak terjang kolonialisme. Puisinya juga terukir di Taman Makam Pahlawan Tangerang.
Di kemudian hari syair itu menjadi terkenal setelah AJ Susmana menggubahnya menjadi lagu pada 1995 sewaktu menjabat Ketua Forum Seni Budaya Retorika Filsafat Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Lagu inipun kerap dikumandangkan para demontran. Nadanya cukup membuat bulu kuduk merinding.
Kepada Berdikari Online, Mono menuturkan sedikit banyak kisah, sebelum membuat lagu itu, "Suatu hari di tahun 1995, saat berkunjung ke sekretariat Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) cabang Solo saya membaca buku Soe Hok Gie berjudul Di Simpang Kiri Jalan," kata Mono, demikian AJ Susmana biasa disapa.
Dalam buku itu, sambung pria kelahiran Klaten, 20 November 1971 tersebut, Gie menceritakan tentang puisi karya Henriette yang diukir di pusara Ali Archam. Buku itu dilarang beredar pada masa Orba.
Karena buku tersebut sulit dicari pada waktu itu, maka Mono yang pernah menjadi sekretaris Wiji Tukul di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker) menulis syairnya pada secarik kertas. Di dalam bus, sepanjang jalan pulang dari Solo ke Jogja dia menghafalkannya dengan cara berdendang.
"Sesampai di UGM, saya ambil gitar dan menyanyikannya. Kawan-kawan pun turut serta. Lagu itu gampang diterima, karena syairnya cukup menggambarkan pergerakan mahasiswa yang pada waktu itu mulai menggeliat," paparnya.
Malpraktek sejarah
Generasi di masa Orde Baru hingga Orde Reformasi ini tentu tak banyak tahu tentang Ali Archam, mengingat malpraktek sejarah yang dilakukan rezim Soeharto.
Berbagai literatur sejarah menjelaskan, Ali Archam adalah sosok penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia . Dia salah satu pimpinan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1926 yang menuntut Indonesia merdeka.
25 Desember 1925, bertepatan dengan hari Natal , pimpinan PKI--partai politik pertama di negeri ini menggelar pertemuan di Prambanan, Jogja. Pertemuan itu memutuskan perlunya mengadakan aksi bersama merebut kemerdekaan dari tangan Belanda.
Pemberontakan yang semula direncanakan pada 18 Juni 1926, baru meletus 12 November 1926 hingga 1927. Sejumlah daerah seperti Sawahlunto, Padang Panjang, Padang Sibusuk, Silungkang, Banten, Jakarta, Tasikmalaya, Ciamis, Majalengka, Kuningan, Indramayu, Banyumas, Solo, Boyolali, Kediri, Pekalongan bergolak.
Sayangnya, pemberontakan itu berhasil ditumpas oleh Belanda. Akibatnya 13.000 orang ditangkap, beberapa orang ditembak, 4.500 orang dijebloskan ke penjara, dan sebanyak 1.308 orang dikirim ke Digul.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, Ali Archam cukup fenomenal dalam pemberontakan ini. Saat ditangkap, dia tetap tutup mulut meski disiksa oleh Belanda ketika ditanya siapa saja yang terlibat. Dalam keadaan hancur pisik dan psikis dia berpidato di hadapan para Digulis;
Suatu pemberontakan yang mengalami kekalahan adalah tetap sah dan benar. Kita terima kekalahan ini karena musuh kita lebih kuat. Kita terima pembuangan ini sebagai suatu resiko perjuangan yang kalah. Tidak ada di antara kita yang salah, karena kita melawan penjajahan. Pihak yang bersalah ialah pemerintah kolonial! Sekali lagi, kita memang kalah, akan tetapi kita tidak salah! Yang salah adalah penjajah!
Ketika pimpinan pemberontakan 1926 ini menemui ajal di Digul, sebagaimana diuraikan oleh Soe Hok Gie dalam bukunya, seluruh kaum laki-laki dimandikan sebagai penghormatan terhadap keberanian dan keteguhan hati Ali Archam.
Menurut Mono, sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan, Ali Archam tipikal orang yang cinta ilmu pengetahun. Tak ayal kemudian pada masa pemerintahan Bung Karno pernah didirikan Akademi Ilmu Sosial Ali Archam yang berlokasi di Tebet, Jakarta Selatan. Bagitu hura-hara 1965, kampus itu bubar.
Bung Karno menilai pemberontakan Ali Archam cs sebagai suatu generale repetitie dari suatu radikale revolutionaionaire gymnastyk atau olahraga pemanasan untuk perjuangan revolusi yang lebih luas dalam menghadapi perjuangan pembelaan Proklamasi 17-8-1945.
Sedangkan Bung Hatta mengatakan pemberontakan-pemberontakan itu menunjukan kepada dunia luar bahwa rakyat Indonesia sungguh-sungguh ingin merdeka.
Tentang pemberontakan PKI 1926/1927, dalam buku Pengalaman Perjuangan Dalam Merintis Kemerdekaan halaman 251-252, Muluk Nasution mencatat, Negara RI telah menetapkan para pemberontak itu sebagai pahlawan perintis kemerdekaan dengan suatu undang-undang bernomor 5/PP/1964.
Sejarah adalah ibu. Boleh berbeda pendapat dengan ibu, tapi jangan sekali-kali tidak mengakui ibu. Durhaka namanya! Orde Baru telah melakukan malpraktek sejarah sehingga kita lupa dengan kaum nasionalis generasi awal yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia . Sepertinya kesalahan serupa tak perlu berulang lagi...
*) Jurnalis dan penyair, tinggal di Depok.
Selengkapnya...
Menggagas Gerakan Intervensi Pilkada Medan
Oleh: Randy Syahrizal
Dalam demokrasi, pemilihan umum mendapat tempat terhormat dalam proses suksesi kekuasaan. Dalam perkembangannya, di Negara kita, Pemilihan Umum juga dilakukan di daerah (Pilkada) yang dilakukan secara langsung. Alam demokrasi prosedural terbuka selebar-lebarnya dan memaksa kompetisi menjadi sengit, dan bahkan sarat kecurangan. Otonomi daerah memang membuat elit politik tergiur untuk menjadi penguasa nomor 1 (satu) didaerahnya masing-masing. Kekuasaannya pun hampir tak terbatas, bahkan meliputi pengelolaan sumber daya alam masing-masing. Hal ini juga yang membuat para kandidat sangat akrab dengan investor dan konon sudah menjadi rahasia umum bahwa para investor tersebut berebut menjadi sponsor pada kandidat yang berkemungkinan menang. Dan jika ini adalah kenyataan, maka harapan perubahan nasib rakyat akan menjadi mimpi ditangan para kandidat.
KPU Medan sebagai penyelenggara Pilkada telah mengumumkan 10 dari 12 pasangan yang mendaftar yang memenuhi persyaratan menjadi calon walikota/wakil walikota Medan. Lima pasangan diantaranya berasal dari partai atau koalisi partai dan lima pasangan lainnya berasal dari calon perseorangan (independent). Dalam perkembangannya terjadi “ribut-ribut” antara massa yang menolak pembatalan pasangan Rudolf Pardede – Afifudin Lubis. Namun tulisan ini bukanlah ingin membahas persoalan tersebut secara terperinci. Menurut saya, KPU Medan sebagai penyelenggara memang berhak mengambil keputusan, namun harus tetap mengacu pada Hukum dan Undang-Undang yang berlaku, agar masyarakat kota Medan mendapatkan kepastian hukum terkait persoalan tersebut.
Gerakan Memaknai Pilkada Medan
Mau tidak mau, suka tidak suka, pilkada sebagai proses politik pergantian kekuasaan yang dipilih langsung oleh rakyat akan tetap berlangsung. Namun saya percaya, tanpa intervensi kaum pergerakan, Pilkada Medan tidak akan berbuah apa-apa, khususnya untuk kemajuan demokratisasi dan perluasan kesadaran akan masalah dan jalan keluar kemiskinan yang dialami masyarakat.
Kaum pegerakan pernah memenangkan opini dalam pertarungan pemilu, dan itu adalah politik intervensi ekstra parlemen. Ada baiknya bercermin dari pengalaman pemilu 2009 dan pilpres kemaren, saat itu betapa banyak kandidat yang keberatan dirinya disebut berbau “neolib”, artinya dari fokus konsentrasi intervensi pemilu, kaum pergerakan berhasil menjadikan “neolib” sebagai musuh bersama, sehingga banyak pihak, termasuk pemerintahan incumbent menjadi risih dengan cap “neolib” yang dilekatkan kepada dirinya. Neolib menjadi popular dan dipopulerkan juga oleh media, dan hingga saat ini perjuangan kaum pergerakan melangkah maju setapak dalam merumuskan musuh idiologis dan musuh bersama, yakni idiologi pasar bebas (neoliberalisme) dan pemerintahan yang mengabdikan diri kepada mekanisme neolib.
Gerakan Intervensi Pilkada Medan
Pilkada Medan akan menghabiskan anggaran Negara (uang rakyat) sebesar Rp 61 Milyar, jumlah yang tidak sedikit tentunya, untuk dihabiskan dalam pesta elit politik tersebut. Lantas apa kepentingan kita dalam kompetisi elit-elit politik tersebut..? kepentingan kita adalah mengawal dan memberikan perpektif kerakyatan seminimalis apa pun dalam proses tersebut. Mengawalnya sama artinya dengan tidak membiarkan uang rakyat (anggaran Negara) hanya dipakai untuk menciptakan proses politik pilkada yang korup dan curang. Mengawal itu tidak hanya sebatas normative dan apolitis, namun juga harus menggagalkan potensi-potensi kecurangan yang akan dilakukan oleh kandidat yang paling pro terhadap neolib.
Potensi tersebut sudah tercium dari diangkatnya Syamsul Arifin menjadi Pj Walikota Medan, yang artinya beliau saat ini sedang bertugas rangkap jabatan. Rangkap jabatan tersebut menyalahi aturan, yakni PP no. 06 tahun 2005 pasal 132 ayat 1, mengenai Pj kepala daerah haruslah diangkat dari kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan beberapa criteria. Pj Gubsu harus dari eselon I jabatan strukturalnya sekurang-kurangnya IV/c, sedangkan Pj walikota Medan harus eselon II jabatan strukturalnya sekurang-kurangnya IV/b. Menurut kami ini bukan persoalan pelanggaran tekhnis semata, tapi kami menduga bahwa ini adalah scenario untuk mempertahankan dan menancapkan sedalam-dalamnya dominasi neoliberalisme di daerah-daerah termasuk Medan. Sudah sangat jelas, bahwa Syamsul Arifin bukanlah PNS, dia adalah politisi dari Partai Golkar yang tidak akan mungkin bersikap netral dalam pilkada Medan.
Saat ini Syamsul Arifin atas SK Mendagri adalah pemimpin tertinggi sementara di kota Medan yang membawahi pemerintahan terkecil seperti Kecamatan dan Kelurahan serta banyak instansi yang berada dibawah koordinasinya (termasuk KPU bukan..?) Saya berani bertaruh, bahwa tak ada satu orang pun politisi yang dapat bersikap netral dalam proses politik, atas keyakinan saya diatas, maka saya menduga bahwa ini adalah persoalan untuk memenangkan sang agen neolib yang dipercaya oleh partainya para neolib-neolib bersarang, yakni Partai Demokrat (Rahudman – Eldin). Hal ini menjadi lumrah mengingat posisi Demokrat yang sedang babak belur di hajar partai koalisi SBY dalam kasus Bailout Century. Jadi kepentingan kaum pergerakan dalam Pilkada, selain mendorong terselenggaranya proses Pilkada yang adil, jujur, bersih, demokratis dan berkualitas, yang syarat pokoknya adalah Pemerintah RI (Mendagri) harus mencabut SK Pj Walikota Medan, juga berkepentingan untuk mengawal potensi kecurangan yang akan dilakukan oleh Incumbent. Kepentingan yang tak kalah pentingnya adalah segera mendesakkan program-program darurat rakyat kepada para kandidat yang bertarung, agar rakyat dengan cepat faham, mana yang layak dipilih dan mana yang layak disingkirkan.
Capaian maksimalnya, menurut saya, Kaum pergerakan harus mampu mendesakkan ketetapan/peraturan yang mengatur tentang pencabutan mandat oleh rakyat atas kepala daerah yang terbukti gagal membawa perubahan, terbukti korup, dan melakukan perbuatan tercela. Proses pilkada langsung oleh rakyat juga harus diimbangi dengan proses pencabutan mandat langsung yang dijamin oleh Undang-Undang.
Randy Syahrizal Ketua Komite Pimpinan Wilayah – Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sumatera Utara, dan Humas Komite Aksi Rakyat Medan (KARAM)
Selengkapnya...
Soekarno dan Pergerakan Buruh
Oleh: Rudi Hartono*)
Sejarah gerakan pembebasan nasional di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan sejarah pergerakan buruh. Ketika perjuangan anti-kolonial mulai berbentuk gerakan politik massa, peranan gerakan buruh terbilang sangat besar. Kehadiran gerakan dan serikat buruh, seperti dicatat oleh Ruth Mc Vey, telah menandai perkembangan menakjubkan dari perkembangan situasi revolusioner di Indonesia.
Soekarno, salah satu tokoh paling cemerlang dan terkemuka saat itu, tidak bisa dipisahkan dengan gerakan buruh dan gerakan massa, terutama saat PKI telah dihilangkan oleh penindasan kolonial dalam panggung terbuka perjuangan pembebasan nasional. Soekarno, terutama setelah pidato Indonesia Menggugat yang begitu tajam dan terkenal itu, telah didaulat secara tidak langsung sebagai pemimpinnya gerakan massa. Bahkan, oleh Dr. Sutomo, salah satu tokoh gerakan nasional saat itu, Soekarno diletakkan sebagai motor, kekuatan penggerak dari seluruh barisan yang beraliran kiri.
Akan tetapi, kendati gerakan buruh telah menjadi elemen penting saat itu dan Soekarno juga punya peranan di situ, tetapi nama Soekarno tidak setenar nama seperti Semaun dan Soerjopranoto dalam gerakan buruh. Saat ini, misalnya, kita begitu akrab dengan gagasan Soekarno terkait dengan ide-ide perjuangan nasional, sedangkan soal gagasan perjuangan buruhnya kurang kedengaran.
Gagasan Soekarno Soal Gerakan Buruh
Soekarno sangat akrab dengan sosok-sosok pemimpin gerakan buruh di Eropa seperti Karl Kautsky, Ferdinand Lassalle, Sidney dan Beatrice Webb di Inggris, dsb. Sebagai seorang Marxist, Soekarno pun sangat akrab dengan berbagai aliran pemikiran sosialis dan komunis, mulai dari Pieter Troelstra di Belanda, Jean Jaures di Perancis, hingga Lenin, Stalin, dan Trotsky di Rusia.
Bukankah Soekarno pernah berkata, "Saya punya pikiran, saya punya mind terbang, meninggalkan alam kemiskinan ini, masuk di dalam "world of the mind"; berjumpa dengan orang-orang besar, dan bicara dengan orang-orang besar, bertukar pikiran dengan orang-orang besar."
Setidaknya, dari berbagai tokoh tersebut, Soekarno memperoleh ide soal massa-actie dan machtvorming, termasuk dalam membangun gerakan serikat sekerja/serikat buruh. Dalam tulisan berjudul "bolehkan Sarekat sekerja berpolitik?", Soekarno telah mengeritik habis-habisan tuan S (nama inisial, dalam harian pemandangan) yang menuntut gerakan serikat buruh tidak usah berpolitik. Dalam pandangan Soekarno, perjuangan politik bagi serikat buruh, paling tidak, adalah dimaksudkan untuk mempertahankan dan memperbaiki nasib politik kaum buruh, atau mempertahankan "politieke toestand". Menurut Bung Karno, Politieke toestand sangat terkait dengan masa depan gerakan buruh, yaitu penciptaan syarat-syarat politik untuk tumbuh-suburnya gerakan buruh.
Lebih jauh lagi, Soekarno juga mengatakan, jika kaum buruh menginginkan kehidupan yang layak, naik upah, mengurangi tempo-kerja, dan menghilangkan ikatan-ikatan yang menindas, maka perjuangan kaum buruh harus bersifat ulet dan habis-habisan. Jika ingin merubah nasib, Soekarno telah berkata, kaum buruh harus menumpuk-numpukkan tenaganya dalam serikat sekerja, menumpuk-numpukkan machtvorming dalam serikat sekerja, dan membangkitkan kekuasaan politik di dalam perjuangan.
"Politik minta-minta satu kali akan berhasil, tetapi sembilan puluh sembilan kali niscaya akan gagal", demikian dikatakan Soekarno saat mengeritik serikat sekerja yang hanya menuntut perbaikan nasib. Soekarno telah berkata, "politik meminta-minta tidak akan menghapuskan kenyataan antitesa antara modal dan kerja".
Soekarno juga tidak lupa mengeritik Robert Owen, Louis Blanc, dan Ferdinand Lassalle, yang mana mereka dianggap menganjurkan perdamaian antara modal dan kerja. Karena itu, dalam tulisan Mencapai Indonesia Merdeka, Soekarno sudah menggaris-bawahi pentingnya kaum buruh dan rakyat Indonesia untuk menghancurkan stelsel (sistem) imperialisme dan kapitalisme.
Dalam hal alat politik, seperti juga kaum Leninis, Soekarno menganjurkan pendirian sebuah partai pelopor, sebuah partai yang konsekwen-radikal dan berdisiplin. Partai ini, seperti dikatakan Soekarno, harus merupakan partai yang kemauannya cocok dengan kemauan marhaen, partai yang segala-galanya cocok dengan natuur (alam), partai yang terpikul natuur dan memikul natuur. Sebuah partai yang merubah pergerakan rakyat itu dari onbewust menjadi bewust (sadar), demikian dikatakan Soekarno.
Hanya saja, dalam perjalanan menuju penghancuran stelsel imperialisme dan kapitalisme, Soekarno telah menganjurkan persatuan seluruh kekuatan nasional untuk menggulingkan penjajahan dan mencapai Indonesia merdeka. Sehingga, dalam praktek politik, Soekarno mengharuskan pergerakan buruh mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional. Lenin pernah berkata, bahwa di negeri jajahan dan setengah jajahan, "secara objektif masih ada tugas-tugas nasional yang bersifat umum, yaitu tugas-tugas yang demokratis, tugas-tugas untuk menumbangkan penjajahan asing[i].
PNI dan Gerakan Buruh
Meskipun akrab dengan gerakan buruh, namun Soekarno sendiri tidak pernah menjabat sebagai ketua serikat buruh, seperti Semaun dan Suryopranoto saat itu. Tapi, Soekarno menaruh dukungan besar terhadap pergerakan buruh.
Partai Nasional Indonesia (PNI), partainya Soekarno, saat memandang gerakan massa sebagai komponen penting perjuangannya, telah menempatkan pengorganisiran kaum buruh sebagai aspek penting dalam perjuangan partai. Bersamaan dengan perayaan Ulang Tahun PNI, 4 Juli 1929, partai telah memutuskan untuk mengintensifkan propaganda di kalangan buruh. Untuk itu, PNI telah memperkuat pengaruhnya terhadap salah satu serikat buruh saat itu, yaitu Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia (SKBI).
Ketika SKBI mulai ditindas penguasa kolonial karena keterkaitannya dengan Liga Anti Kolonialisme, PNI tidak berhenti dalam mengorganisir dan memperluas pengaruhnya di kalangan buruh. Pada bulan Juli hingga Agustus, PNI kembali mengorganisir beberapa serikat buruh di berbagai kota besar di Indonesia. Di Bandung, PNI mendirikan Persatoean Chauffeurs Indonesia, yang kemudian berganti nama menjadi "Persatoen Motorist Indonesia"-(PMI). Di Tanjung Priok, telah berdiri Sarikat Anak Kapal Indonesia (SAKI); di Surabaya berdiri Persatoean Djongos Indonesia (PDI) dan Persatoen Boeroeh Oost Java Stoomstram Mij (OJS-Bond Indonesia).
Paska kemerdekaan, meskipun PNI telah mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional, namun mereka tetap tidak meninggalkan gerakan buruh. Pada tahun 1952, PNI telah mendirikan Konsentrasi Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI), yang haluan politiknya adalah menuntaskan perjuangan nasional. Dua tahun kemudian, 1954, KBKI berganti nama menjadi Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia.
Marhaenisme dan Proletar
Marhaen, kata Bung Karno, adalah kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain, misalnya kaum dagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum grobag, kaum nelayan, dan lain-lain. Meski Soekarno tidak menggunakan istilah proletar, tetapi pada dasarnya dia mengakui kebenaran dari faham proletar, khususnya yang berkaitan dengan ajaran Marx ini. Soekarno sendiri tidak menutupi, bahwa bagian terbesar dari perjuangan kaum marhaen ini adalah kaum proletar.
Tapi, menurut Soekarno, ada perbedaan "keadaan" antara Eropa dan disini, Indonesia. Di Eropa, kapitalisme terutama sekali adalah kepabrikan, sedangkan di Indonesia masih bersifat pertanian. Selain itu, menurut Soekarno, kapitalisme di eropa bersifat "zuivere industri" (murni industri), sedangkan di sini sebanyak 75% berasal dari onderneming (perusahaan) gula, teh, tembakau, karet, kina, dsb. Ini, kata Soekarno, menghasilkan perbedaan; di eropa, hasil kapitalisme terutama sekali adalah proletar 100%, sedangkan di Indonesia melahirkan kaum tani yang melarat dan papa.
Meskipun kapitalisme mengacu pada 75% industri pertanian, tetapi Soekarno tidak menutupi kebenaran pendirian, bahwa proletar harus menjadi pembawa panji-panji. Soekarno telah berkata, "Nah, tentara kita adalah benar tentaranya marhaen, tentaranya kelas marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaga kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar".
Marhaenisme tidak bermaksud menganulis teori kelas, malah berusaha menerapkan penggunaan teori kelas dalam konteks dan karakteristik Indonesia, seperti yang telah dijelaskan Soekarno di atas. Ini bukan versi baru bagi penganut marxisme di negeri dunia ketiga. Di Amerika Latin terdapat nama José Carlos Mariátegui, yang telah berusaha mengembangkan Marxisme dalam konteks setempat, dan mulai membuang aspek eropa-sentisnya. "Eropa Barat memiliki Sosial-Demokrasi; Rusia memiliki Komunisme; Tiongkok San Min Cu I; India mempunya Gandhiisme; marilah kita di Indonesia mempropagandakan kita punya Marhaenisme!" demikian dikatakan Soekarno.
Justru, dalam konteks sekarang ini, marhaenisme justru bisa dipergunakan sebagai salah satu alat analisis kelas versi Indonesia, asalkan dikembangkan dan sesuaikan dengan konteks saat ini. Sebagai missal, perkembangan sektor informal yang sudah mencapai lebih dari 70%, memaksa kita untuk menggunakan teori kelas secara kontekstual.
Walaupun Soekarno mengakui teori perjuangan kelas, namun ia selalu berusaha memperkokoh jiwa bangsa tidak sebagai kesadaran kelas, seperti yang biasa terdapat dalam gerakan buruh, tapi sebagai kesadaran bangsa, kesadaran untuk mencapai tujuan nasional. Bagi Soekarno, dalam tahap negeri kolonial, pertentangan-pertentangan kelas itu menjadi searah dengan pertentangan nasional.
Ini patut dimaklumi, sebab situasi tempat Soekarno membangun teorinya, salah satunya, karena baru saja menyaksikan perpecahan tajam di kalangan pergerakan, terutama perseteruan tajam antara kaum Marxist versus islam. Perpecahan hanya akan memperkuat kekuatan musuh, sedangkan barisan kita akan goyah.
*) Penulis adalah Deputi Bidang Kajian dan Bacaan KPP- Partai Rakyat Demokratik (PRD), pemimpin redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah Kiri. <
Selengkapnya...
HARDIKNAS
Statemen Politik Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Menyambut Hari Pendidikan Nasional
Minggu, 02 Mei 2010 | Posisi
logo.jpg"Kami menaruh harapan besar dengan putusan MK tersebut tidak akan ada lagi anak putus sekolah dan jalan menuju terwujudnya kemandirian serta kedaulatan nasional menjadi terang di masa depan," Ketua Umum Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN-LMND), Lalu Hilman Afriadi di Rakyat Merdeka Online, Kamis (1/4).
Pada 31 maret 2010 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan UU nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Untuk itu, Keluarga Besar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi mengucapkan terima kasih kepada para Tokoh, Organisasi Mahasiswa dan Rakyat serta Penyelenggara Pendidikan, khususnya Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI).
Namun, pada hari Pendidikan Nasional hari ini, yang juga merupakan hari kelahiran tokoh pendidikan nasional kita, Ki Hajar Dewantra, buah kecil hasil perjuangan ini masih terhambat oleh pemerintahan SBY-Budiono. Presiden SBY, melalui Mendiknas Muhammad Nuh, masih enggan untuk melaksanakan putusan MK tersebut. Sebagai ganti UU BHP yang telah dibatalkan, pemerintah kembali menggagas Perppu UU BHP. Bagi kami, ini merupakan langkah politik SBY untuk melestarikan neoliberalisme di sektor pendidikan, serta menjadi penghambat terwujudnya cita-cita nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Padahal, sebelum UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) ditetapkan, wajah pendidikan di Indonesia sudah cukup memprihatinkan. Menurut data Departemen Pendidikan Nasional tahun 2007/2008, setiap tahunnya sekitar 1,5 juta remaja Indonesia putus sekolah atau tidak dapat melanjutkan sekolah. Itu artinya, setiap satu menit ada empat remaja (13-18 tahun) yang mengalami putus sekolah. Sebelumnya, Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa.
Disisi lain, sejak dikeluarkannya PP No. 60 dan 61 Tahun 1999 tentang BHMN, gelombang swastanisasi mulai merambah kampus. Pada tahun 1999 di perkirakan kenaikan biaya kuliah dari 300 hingga 400%. Di Universitas Indonesia uang pangkal-Admission Fee (untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp. 5 Juta hingga Rp 25 juta, sedangkan untuk program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) Rp. 25 Juta-Rp75 Juta. Institut Tekhnology Bandung (ITB), Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik -bisa mencapai 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya. Universitas Gajah Mada (UGM) memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp. 20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-SPMB. Dengan biaya pendidikan yang sebesar itu mustahil bisa diakses oleh mayoritas rakyat Indonesia yang oleh Bank Dunia dikatakan 49,5%-nya berpendapatan dibawah 2 USD perhari. Itu berarti ada 110 juta rakyat Indonesia yang hanya berpendapatan sekitar 500 ribu -600 ribu per-bulan. Sanggupkah mereka mengakses bangku Universitas?
Neoliberalisme di bidang pendidikan tidak terlepas dari persoalan umum bangsa kita; problem penjajahan baru yang memakai jubah neoliberalisme. Dampak neoliberal kian terasa pada fenomena kehancuran industri atau de-industrialisasi di dalam negeri. Ini berkontribusi pada lonjakan PHK dan memperpanjang barisan kaum penganggur. Dari data yang ada, jumlah lulusan sarjana yang menganggur telah melonjak drastis, dari 183.629 orang pada tahun 2006 menjadi 409.890 orang pada tahun 2007. Jika ditambah dengan pemegang gelar diploma I, II, dan III yang menganggur, berdasarkan pendataan tahun 2007, maka angkanya mencapai 740.000 orang.
Sebuah bangsa yang ingin survive dan berkembang terus, kata Bung Karno, kalau mereka memiliki human skill dan kemajuan teknik. Untuk itu, menurut Bung Karno, pendidikan harus ditempatkan sebagai kewajiban utama dan pertama-kali dalam pembangunan nasional. Jika mengacu pada fikiran Bung Karno, maka pendidikan harus diakses oleh seluruh rakyat dengan mudah. Sayang sekali, bahwa ide besar Bung Karno itu telah dikandaskan oleh kebijakan pemerintahan saat ini, yang telah melemparkan pendidikan pada mekanisme pasar.
Karena itu, kita tak dapat lagi menghindar dari persoalan-persoalan yang mengancam masa depan bangsa, seperti kemiskinan, pengangguran, dsb, tetapi harus mengambil peran paling maksimal dalam perjuangan untuk merebut kembali kedaulatan nasional (kedaulatan atas sumber daya, kedaulatan politik, dan kedaulatan budaya).
Untuk itu, dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional 2010 ini, kami menyatakan sebagai berikut :
1. Menolak Rencana Pemerintah untuk Membuat Peraturan baru (PP, UU dll) sebagai pengganti UU BHP; dan pembatalan seluruh produk hukum yang berbau neoliberalisme di bidang pendidikan.
2. Menuntut peran negara untuk terlibat aktif dalam membangun dan menyelenggarakan sistim pendidikan nasional.
3. Menuntut pemerintah untuk menaikkan anggaran untuk pendidikan dan proses-proses penelitian ilmiah.
4. Menuntut pemerintah untuk mengambil-alih kontrol terhadap sumber daya alam dan perusahaan vital untuk ditransfer pada program pendidikan gratis untuk rakyat.
Jakarta, 2 Mei 2010
Bangun Dewan Mahasiswa, Rebut Demokrasi Sejati
Eksekutif Nasional- Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi
EN LMND
Lalu Hilman Afriandi Agus Priyanto
Ketua Umum Pjs. Sekjend
Selengkapnya...
Pancasila, dari Trauma ke Persatuan Anti Neolib
Banyak kamerad di kalangan kaum gerakan dan intelektual yang cukup kaget saat mengetahui Pancasila coba diangkat Partai Rakyat Demokratik (PRD) dari "lumpur kenistaan" ke tempat yang lebih bersih, terang dan tinggi. Sebagiannya malah keblinger, menuduh PRD sudah bergeser ke sebelah kanan, PRD sudah ditunggangi intelejen negara, PRD akan menjadi organisasi reaksioner, PRD akan melakukan penataran P4 seperti layaknya di zaman kegelapan dahulu, dan lain-lain dan sebagainya. Namun, semua itu justru menyiratkan pendeknya ingatan kolektif rakyat kita tentang Pancasila. Sangat disayangkan hanya Pancasila yang "kanan", Pancasila yang "pembunuh", dan Pancasila yang "bengis" a'la Jenderal Suharto yang masih diingat, bukan Pancasila yang sesuai keinginan sang penggali Ir. Sukarno: Pancasila yang kiri.
Stigma kanan Pancasila diperoleh dari hasil pendistorsian panjang Orde Baru. Karena banyak aktivis dan intelektual oposan kerap menjadi "korban" represi/intimidasi dari kelompok-kelompok yang mengklaim membela Pancasila, maka adalah wajar jika rasa trauma terhadap segala yang berbau Pancasila atau asas tunggal masih agak lekat. Mimpi buruk selama Orde Baru ini belum ditinggal, masih dibawa-bawa sehingga menjadi beban psikologis (semacam mental blocking) sampai sekarang.
Bukan salah kaum muda yang lahir di zaman Orde Baru jika mereka tak mampu mengingat Pancasila-nya Ir. Sukarno. Yang salah tetap adalah Jenderal Suharto yang telah mendistorsi esensi Pancasila selama 32 tahun (1965-1998). Selama itu pula Pancasila tampil dalam raut wajah yang bengis dan kejam. Namun, seperti kita menghadapi penyakit-penyakit mental umumnya, trauma yang diderita akibat Pancasila Orde Baru tidak boleh dipersalahkan, apalagi dihakimi, yang seharusnya dilakukan adalah mengobatinya (healing).
Jika diurai, sebenarnya trauma terhadap Pancasila berakar pada dua hal sbb:
1. Devide et impera antara Pancasila dengan Kaum Kiri
Pada pertengahan tahun 1965-1967, selagi Jenderal Suharto tengah melakukan "kudeta merangkak" (creeping coup, pen: baca buku terbaru John Roosa tentang Dalih Pembunuhan Massal), ia menyempatkan menetapkan tanggal 1 Oktober 1965 sebagai Hari Kesaktian Pancasila melalui Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat tanggal 17 September 1966 (Kep 977/9/1966). Narasi tunggal yang hendak didesainnya saat itu adalah seakan-akan Pancasila sebagai dasar negara berusaha diserang oleh kaum kiri, dan ia adalah satu-satunya pahlawan penyelamat Pancasila. Dengan dalih penyelamatan tersebutlah, Jenderal Suharto seperti mendapat restu untuk membunuh secara massal ratusan ribu sampai jutaan kaum kiri di Indonesia hanya dalam waktu 3 tahun. Kesuksesan adu domba tersebut diteruskan untuk selama masa 32 tahun berikutnya, di mana Pancasila selalu dijadikan momok untuk membungkam sisa-sisa kaum kiri (yang selamat dari pembunuhan massal atau bebas dari penjara/kamp kerja paksa) ataupun kaum kiri baru yang lahir di era 1980an (seperti PRD). Maka dari itu, kita boleh saja untuk ke depannya membulatkan tekad, mengusulkan untuk pergantian nama tanggal 1 Oktober dari Hari Kesaktian Pancasila menjadi Hari Kesaktian Orde Baru.
2. Pembohongan Asal Usul Pancasila
Sebuah kebohongan pun jika dipropagandakan ribuan kali dapat bermutasi menjadi sebuah kebenaran publik. Itu adalah teknik dari Menteri Propaganda Nazi Jerman Goebbels yang biasa disebut "Big Lie", yang ternyata dipraktekkan dengan sangat baik oleh Jenderal Suharto di Indonesia selama 32 tahun pemerintahannya. Kebohongan/distorsi terutama dari Jenderal Suharto adalah tentang tanggal lahir dan penggali sejati Pancasila, yang dipropagandakan intensif melalui Pelajaran Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB) dan penataran-penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Orde Baru menyebut, bahwa tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari lahir Pancasila dan Mr. Mohammad Yamin adalah penggalinya. Padahal yang sebenarnya adalah Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945 dan Ir. Sukarno adalah penggalinya. Jelas sekali ini adalah upaya de-Sukarnoisasi yang "sistemik". Meski kemudian kebohongan ini sempat dibantah oleh testamen Dr. Mohammad Hatta pada tahun 1976 , Orde Baru tetap tidak bergeming hingga Reformasi menggulingkannya. Baru setelah itu penataran P-4 dibubarkan, PSPB dicabut, dsb.
Dapat dirangkai dari kedua akar di atas, bahwa trauma terhadap Pancasila sejatinya disebabkan oleh mega proyek de-Sukarnoisasi Orde Baru. Taktik Orde Baru ini pun bukan tanpa alasan yang strategis, mengingat betapa kuatnya persatuan antara kaum kiri bersama Ir. Sukarno menjelang 1965. Pada masa itu kaum kiri adalah pendukung sejati Ir. Sukarno, karenanya untuk melumpuhkan politik Ir. Sukarno, kaum kiri harus dipisahkan darinya dan dihabisi terdahulu. Barulah Ir. Sukarno menjadi lemah dan mudah digulingkan, setelah terlebih dahulu diisolasi dari rakyat yang menjadi energi perjuangannya sejak muda.
Akhirnya sejarah mencatat, bahwa Pancasila yang awalnya dilahirkan Ir. Sukarno untuk memerangi imperialisme dan kolonialisme, berdistorsi menjadi alat yang digunakan Jenderal Suharto untuk tanpa keadilan mempersilahkan datangnya penjajahan gaya baru selama 32 tahun dan tanpa kemanusiaan menghabisi lawan-lawan politiknya.
Pancasila untuk Persatuan Anti Neoliberal
"Lima Sila ini kalau disatukan menjadi kepal akan menjadi tinju untuk menunju imperialis, lawan-lawan bejat, lawan-lawan kemerdekaan, penjajah yang menjajah Indonesia. Ini kepal rakyat Indonesia yang bersatu!"
(Cuplikan pidato Soemarsono, pimpinan Pemuda Republik Indonesia dan kader Partai Komunis Indonesia (PKI) ilegal pada tanggal 21 September 1945 di tengah RAPAT SAMUDERA yang dihadiri 150 ribu massa Marhaen di Stadion Tambaksari. Dikutip dari Buku Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, penerbit Hasta Mitra, 2008, hal. 37)
Obat dari trauma rakyat terhadap Pancasila hanyalah pembangkitan kembali ingatan kolektif perjuangan rakyat merebut (kembali) kedaulatan nasional sepanjang periode 1945-1965. Ingatan suram tentang Pancasila yang "reaksioner" di masa Orde Baru harus ditinggalkan, sedangkan ingatan tentang Pancasila yang "revolusioner" di masa Ir. Sukarno harus terus menerus digali kembali.
Pancasila yang akan kita emban bukanlah Pancasila-nya Orde Baru yang mengizinkan ExxonMobil, Freeport, Chevron, Inco, Vico, BHP Billiton, Thiess, ConocoPhilips, GoodYear, Total, Newmont, dll menjajah kekayaan alam bangsa. Pancasila yang kita ingin munculkan kembali adalah yang digunakan oleh Ir. Sukarno sebagai "pembenaran" untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, mengusir modal asing yang menghisap jauh-jauh dari bumi Indonesia (dengan atau tanpa ganti rugi). Jika dikontekstualisasi ke zaman ini mungkin tidak akan jauh berbeda: bukan Pancasila yang mengabdi kepada rezim neoliberalisme, tetapi Pancasila yang mendamba akan kedaulatan nasional sepenuhnya demi keadilan sosial seluas-luasnya menuju sosialisme Indonesia.
Dengan perkataan lain, Pancasila yang akan kita amalkan harus memiliki semangat anti penjajahan, anti penghisapan manusia atas manusia ataupun penghisapan bangsa atas bangsa, semangat pembebasan nasional menuju cita-cita sosialisme Indonesia seperti digariskan oleh Pembukaan UUD 1945.
Dengan berpegangan pada Pembukaan UUD 1945, kita dapat merangkum setiap esensi dari perjuangan anti neoliberal di semua sektor rakyat ke dalam butir-butir Pancasila. Dari sari-sari perjuangan kita di lapangan perburuhan, kaum miskin perkotaan, petani, hingga mahasiswa-pelajar dan kebudayaan dapat kita sempalkan semua ke dalam Pancasila. Dan masing-masing sektor dapat saling mendukung perjuangan di sektor lainnya secara bahu membahu, holobis kuntul baris. Inilah watak sejati Pancasila yang lebih dikenal sejak masa nenek moyang kita dengan istilah gotong royong (1) .
Semisal dalam soal outsourcing dan sistem kerja kontrak, kita akan bilang bahwa konsep labour flexibility milik neoliberal tersebut bertentangan dengan pengamalan Sila ke 2 Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sekaligus juga Sila ke 5 Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Atau semisal juga tentang maraknya penggusuran kampung kumuh di perkotaan yang mengekspresikan program City Without Slump milik neoliberal, kita juga dapat bilang itu melanggar sila ke 2 dan ke 5. Artinya, sepanjang Menakertrans masih "mengamalkan" sistem outsourcing dan kontrak yang menghisap kaum buruh se-Indonesia; atau sepanjang Gubernur DKI Jakarta masih rajin "mengamalkan" penggusuran terhadap anak jalanan dan perkampungan kumuh, sepanjang itu jualah mereka dengan sengaja telah melanggar Pancasila sila ke 2 dan ke 5 sekaligus. Menjadi sah kemudian jika kita jatuhkan tudingan bahwa Muhaimin Iskandar adalah musuh Pancasila, karena masih membiarkan kaum buruh Indonesia bergelimang dalam perbudakan modern; dan Fauzi Bowo juga adalah musuh Pancasila, karena tidak pernah melindungi hak hidup warga miskin Jakarta. Gampangnya, kedua oknum pejabat tersebut adalah musuh Pancasila, maka mereka adalah musuh bersama kaum buruh dan kaum miskin kota.
Kesimpulan akhir: neoliberal dan semua operatornya adalah musuh Pancasila; dan semua kaum yang dirugikan (oleh neoliberal) wajib bergotong royong bersatu dalam aksi menentangnya.
*****
(1) Pada sidang di mana Ir. Sukarno berpidato tentang Pancasila tanggal 1 Juni 1945, ia diminta oleh pimpinan sidang untuk memerah Pancasila (5) menjadi Trisila (3) dengan pertimbangan lima sila masih terlalu panjang. Ia menyanggupi dan menyebutkan Trisila, yaitu Sosio-demokrasi, Sosio-nasionalisme, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Namun pimpinan sidang masih kurang puas dan menantang Ir. Sukarno apakah dapat memerah tiga sila menjadi satu sila saja. Dan Ir. Sukarno kembali menyanggupi, ia menyebut Gotong Royong (pen)
"Pancasila jangan sebatas wawasan saja, tetapi harus menjadi ideologi aksi dalam praktek."
Joesoef Isak dalam suatu tulisan pengantar di tahun 2008 (sebelum tutup usia)
"Tetapi Republik Indonesia menghadapkan kita dengan satu keadaan jang istimewa. Rakjat adalah beraneka ragam, beraneka adat, beraneka ethnologi. Rakjat yang demikian itu membutuhkan satu "dasar pemersatu". Dasar pemersatu itu adalah Pantjasila."
Ir. Sukarno, dalam suatu sambutan tanggal 17 Agustus 1955
*) Sekretaris Jenderal Komite Pimpinan Pusat- Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Selengkapnya...Thailand: Partai Demokrat Terancam Bubar, Kudeta Militer Mengancam
Keputusan Komisi Pemilu ini disambut gembira oleh kaos merah, namun mereka menyatakan tidak akan berkompromi dan terus menggelar demonstrasi menuntut pemilu ulang.
Peristiwa berdarah yang terjadi akhir pekan lalu masih memakan korban setelah seorang demonstran dan seorang tentara hari ini meninggal akibat luka tembakan.Atas tragedi ini, Perdana menteri Abhisit yang kini berlindung di barak militer menyatakan akan menginvestigasi pelaku kekerasan yang sesungguhnya.
Sementara Prompong menyatakan bahwa kudeta militer dapat menghindarkan unsur militer yang bertanggung jawab atas jatuhnya korban dari ancaman hukuman. Ia menjelaskan bahwa Jendral tersebut sedang memverifikasi siapa-siapa saja yang akan mendukungnya.
Bila Jendral itu berhasil kudeta, konstitusi 2007 akan dicabut dan Partai Demokrat akan lolos dari hukuman," tambah juru bicara Puea Thai tersebut. Ia memperingatkan bahwa kudeta akan menimbulkan bentrokan yang lebih parah dan massif daripada yang sebelumnya. Mungkin akan terjadi perang saudara, jelasnya.
Sementara itu massa demonstran Kaos Merah di pusat kota yang tadinya terbagi dalam dua kelompok, hari ini bergabung jadi satu di persimpangan Ratchaprasong.
Dipindahkannya para pendukung dari jembatan Phan Fa adalah agar mereka tidak mudah dibubarkan oleh aparat pemerintah" jelas pimpinan inti UDD, Natthawut. (Db)
Selengkapnya...
Search
Pengunjung
Kategori
- Berdikari (14)
- Internasional (4)
- Kabar Juang (3)
- Kabar Rakyat (4)
- Organisasi (1)
- Politik (8)
- sastra (1)
- Soekarnoisme (6)
- Statement (5)
- Tokoh (4)
Jaringan
Mengenai Saya
- Randy Syahrizal
- mempunyai minat menulis sejak kuliah di Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra USU tahun 2003. Pernah menulis di beberapa media lokal (Sumatera Utara) dan Media Online Nasional. Blog pribadi saya : http://ceritadarimedan.blogspot.com