Materi diskusi Dewan Nasional - Serikat Tani Nasional di Bandar Lampung 2011

“Kekeliruan pembangunan yang mendasar adalah tidak ditempatkannya
pembaruan agraria yang berupa penataan kembali penguasaan,
penggunaan, pemanfaatan, peruntukan dan pemeliharaan sumber-sumber
agraria sebagai pra-kondisi dari pembangunan… Pembaruan agraria
dipercayai pula sebagai proses perombakan dan pembangunan kembali
struktur sosial masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan, sehingga
tercipta dasar pertanian yang sehat, terjaminnya kepastian penguasaan atas
tanah bagi rakyat sebagai sumberdaya kehidupan mereka, sistem
kesejahteraan sosial dan jaminan sosial bagi rakyat pedesaan, serta
penggunaan sumberdaya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat.” (Deklarasi Pembaruan Agraria, Jogjakarta 1998)


Presiden SBY dalam rangka pidato awal tahun 2007 di TVRI (31/01/2007 malam) menyinggung tentang rencana pemerintah untuk menjalankan pembaruan agraria (Reforma Agraria) yang pada intinya adalah melakukan redistribusi Tanah Negara kepada sejumlah rumah tangga yang dikategorikan sebagai petani termiskin. Dalam hal mengatasi kemiskinan, ketimpangan agraria dan konflik agraria Presiden SBY pada tahun 2010 kembali berjanji segera melaksanakan program pembaharuan agraria nasional dan mendistribusikan tanah-tanah kepada para petani, yang pertama dalam peresmian program strategis pertanahan yang digagas oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) di kawasan Berikat Nusantara, Cilincing, Jakarta Utara bulan Januari 2010, kedua di bulan September 2010 di Istana melalui Staff Khusus Presiden (SKP) bidang pangan dan energi dan SKP bidang otonomi dan pembangunan daerah serta ketiga dibulan Oktober dalam peringatan Hari Tani Nasional ke 50 di Istana Bogor.

Apa yang disampaikan oleh kepala BPN dan Presiden SBY dalam peringatan acara Hari Tani pada 21 Oktober 2010 lalu, mengenai prioritas kerja BPN kedepan (Pembaruan Agraria, Penyelesaian Konflik Agraria, Penyelesaian persoalan tanah terlantar, distribusinya kepada rakyat dan percepatan sertifikasi pertanahan) merupakan janji yang diulangi lagi. Karena pengalaman sejak tahun 2006 hingga hari ini janji tersebut tidak kunjung terealisasi. Pada Bulan Maret 2010 BPN menyatakan bahwa ada 7,3 juta hektar lahan terlantar yang siap didistribusikan. Namun pada tahun 2010 hanya 260 hektar tanah yang didistribusikan kepada 5.141 petani. Artinya rata-rata petani hanya mendapatkan 0.05 ha atau 500m2 per KK.

Belum lagi realisasi janji dan program kampanye, pemerintah justru seakan terus melegalkan berbagai bentuk perampasan tanah yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar melalui program-program seperti Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), REDD+ dan lainnya. Awal tahun 2010 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) no 18 tahun 2010 tentang food estate atau pertanian tanaman pangan berskala luas. Yang kemudian disusul dengan Permentan yang menindaklanjuti PP tersebut. Poin penting dari pelaksanaan program perkebunan skala luas ini ialah kepastian dan perlindungan ijin usaha bagi perusahaan-perusahaan yang ingin mengembangkan industri pertanian pangan. Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah dan Perijinan (BKPMDP), Pemerintah Kabupaten Merauke juga telah memberikan ijin bagi 32 perusahaan untuk mengelola lahan pertanian seluas 1,6 juta hektar di Merauke. Data BPS menunjukkan luas lahan pertanian padi di Indonesia pada tahun 2010 tinggal 12,870 juta hektar, menyusut 0,1% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 12,883 juta hektar. Luas lahan pertanian secara keseluruhan termasuk non-padi pada 2010 diperkirakan berjumlah 19,814 juta hektar, menyusut 13 persen dibanding tahun 2009 yang mencapai 19,853 juta ha.

isue tentang krisis pangan yg melanda dunia
Badan PBB untuk Urusan Pangan dan Pertanian (FAO) merilis indeks harga pangan dunia per Januari lalu naik 3,4 persen menjadi 231 poin. Itu merupakan angka tertinggi sejak 1990, saat FAO mulai memantau harga pangan dunia. Naiknya indeks itu terjadi akibat melonjaknya harga sejumlah komoditas pangan, seperti sereal atau padi-padian, gula dan minyak sayur. Indeks FAO mengukur perubahan harga sejumlah komoditas pangan internasional setiap bulan. Survei itu menjadi barometer bagi para analis dan investor sebagai patokan global tren harga pangan dunia


Laporan Bank Dunia yang dimuat dalam jurnal edisi terbaru, Food Price Watch, selama Oktober 2010 hingga Januari 2011 menyatakan harga pangan di tingkat global naik 15 persen. Tingginya harga pangan ini membuat sekitar 44 juta orang miskin di penjuru dunia kian melarat sejak Juni 2010. “Harga pangan dunia tengah naik menuju tingkat yang berbahaya dan mengancam puluhan juta kaum miskin di penjuru dunia,” kata Presiden Bank Dunia, Robert Zoellick, seperti dikutip stasiun berita BBC. Bank Dunia menyerukan agar para pejabat keuangan negara-negara G20–di mana Indonesia termasuk di dalamnya–untuk membahas masalah ini.
Sejak pemerintah menyatakan bahwa Indonesia telah berhasil swasembada beras kembali 2008 lalu, di penghujung tahun 2010 ini impor beras kembali dibuka. Lebih lanjut dengan persetujuan Kementrian Perdagangan bea masuk beras impor dihapuskan hingga Februari 2011. Padahal produksi gabah nasional menurut Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 sebesar 65.980.670 ton atau naik 64.398.890 ton dibandingkan tahun 2009. Namun cadangan beras di BULOG hanya 1,8 juta ton sekitar separuh dari penyerapannya pada tahun 2009 sebanyak 3,8 juta ton. Kekurangan cadangan beras di BULOG inilah yang menjadi alasan pemerintah untuk membuka impor beras tahun ini

Dihapuskannya bea masuk impor hingga nol persen ini tentu akan menyebabkan serbuan beras-beras impor dari Negara tetangga, hal ini tentu akan merugikan petani dalam negeri. Saat ini saja sudah dipastikan adanya kontrak impor beras sebanyak 850 ribu ton, yang mulai masuk ke Indonesia. Kemudian ditambah dengan 200 ribu ton dari vietnam. Tidak terserapnya produksi beras dalam negeri menandakan perlu adanya perbaikan kinerja dan daya serap BULOG. Lebih lanjut kebijakan harga beras (HPP) pemerintah tidak membantu peningkatan kesejahteraan petani. Keuntungan yang lebih besar dalam margin perdagangan beras justru jatuh di tangan penggilingan dan BULOG. Impor beras akan sangat menekan produksi yang dilakukan oleh para petani dan pada akhirnya komoditas beras akan bernasib sama dengan komoditas pertanian lain. Import beras pun akan menghabiskan begitu banyak devisa negara anggaran yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah, untuk mengimpor 1,05 juta ton beras sekitar Rp 4,86 triliun, lebih lanjut 1,05 juta ton beras setara dengan produksi yang dihasilkan dari 216.000 hektar sawah, jika rata-rata per hektar memproduksi 5 ton gabah. Kalau rata-rata keluarga petani padi memiliki 0,5 hektar lahan artinya dana impor ini setara dengan pendapatan 432.000 keluarga petani di Indonesia.

Janji hanya tinggal janji

Janji Redistribusi lahan kepada petani juga relevan dengan janji SBY untuk meningkatkan produksi pertanian/pangan nasional. Ujungnya adalah tercapainya swasembada pangan sebagai komponen utama kehidupan bangsa. Swasembada pangan juga berarti memutus rantai ketergantung kita terhadap pangan impor, terutama beras dari Vietnam, Thailand, Filipina, India dan AS. Sejauh ini didengungkan bahwa impor beras merupakan konsekuensi dari kesenjangan antara kebutuhan konsumsi nasional.
Sayangnya, kedua janji tersebut hingga kini tidak terwujud dan menyisakan kegetiran di kalangan petani dan kelompok miskin. Padahal, redistribusi lahan merupakan pamungkas untuk memerangi kemiskinan sekaligus mendongkrak tingkat kesejahteraan petani. Begitu pula swasembada pangan merupakan ukuran pulihnya peran Negara dalam menghadirkan kesejahteraan sosial. Seperti diperkirakan banyak orang, janji tersebut sengaja diembuskan SBY untuk membalutkan citra dirinya sebagai pemimpin berhati mulia yang sensitif dan peduli terhadap penderitaan kaum miskin.
Terlalu mewah rasanya kalau kita berharap SBY akan menjadikan Morales sebagai idola dan inspirasi penting dalam melaksanakan reforma agraria. Sebaliknya, SBY melalui Badan Pertanahan Nasional yang digawangi Joyo Winoto, Ph.D justru gesit melahirkan regulasi yang berpotensi membunuh petani dan kaum miskin.
Pertama, PP No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budi Daya Tanaman yang dikhususkan untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada pengusaha, untuk mengembangkan industri pangan berskala besar atau food estate. Di samping memicu lahirnya monopoli kepemilikan lahan oleh pemodal PP ini, juga mempertegas keberpihakan pemerintahan SBY terhadap pasar tanah yang semakin liberal yang sesungguhnya ditolak oleh UUPA tahun 1960. PP ini juga mengkondisikan masyarakat bukan lagi sebagai kekuatan produktif, melainkan sekadar konsumen pasif terhadap kebijakan-kebijakan impor pangan.

Kedua, RUU Pertanahan. Inti dari RUU ini adalah demi kepentingan umum, maka hambatan-hambatan dalam perolehan tanah harus dihilangkan. RUU ini memang ditujukan untuk memuluskan investasi di negeri ini yang oleh pemerintah diproyeksikan sebagai skenario penting untuk meningkatkan ketersediaan lapangan pekerjaan sekaligus memompa devisa.

Dari situ terlihat bahwa SBY-Boediono mengabaikan reforma agraria karena tidak memiliki visi dan agenda yang jelas.


“Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak
dari Revolusi Indonesia.” (Soekarno, Djalannja Revolusi Kita, 1960)