Tahun 1998, pintu baja kediktatoran dijebol oleh gerakan rakyat.
Gegap gempita reformasi bergaung ke seluruh penjuru negeri. Di ujung
jalan, kaum reformis gadungan berdesak-desakan, menunggu hasil akhir
perjuangan kaum pergerakan, mengukur kekuatan, menghitung kesempatan,
lalu membajak kekuasaan pasca reformasi.
Reformasi..reformasi..reformasi!
Demokrasi..demokrasi…demokrasi! Gemuruh teriakan mereka teriakan kaum borjuis dalam revolusi Perancis!
Para pembonceng terus menggalang opini, di koran, di radio maupun
televisi. Semua berganti rupa menjadi reformis, memoles diri menjadi
sosok demokratis. Sebagian kaum pejuang pun sudah menganggap diri
menang; purna tugas dalam perjuangan.
Angin reformasi telah berbalik arah, mengalir dengan hukum-hukum-nya
sendiri: bukan Trisakti yang ditegakkan, bukan pula masyarakat adil
makmur yang menjadi tujuan.
Sang waktu akhirnya membuka tabir palsu itu!
Dengan kendaraan demokrasi, reformasi memberikan jalan bagi
neokolonialisme dan imperialisme untuk kembali berkuasa, memegang
kendali utama menentukan nasib bangsa. Para komprador di Senayan adalah
kaki tangannya, memutar haluan negara, menciptakan keadaan seperti dulu
kala: sebelum Indonesia merdeka!
UUD pun dirombak, tetapi bukan untuk menyempurnakan dasar serta
tujuan bernegara sesuai cita-cita proklamasi. Perombakan itu sebagai
pintu gerbang neokolonial, menjarah kekayaan serta sumber daya alam
Indonesia, secara legal konstitusional.
Para borjuis komprador pun berteriak: Selamat datang, wahai
tuan-tuan imperialis, kami sudah mengatur supaya anda aman untuk
mengekspor kapital ke negeri kami. Silahkan anda mengambil apa yang anda
suka di tanah air kami. Kami tidak akan menghalangi anda mengambil
tanah kami, hutan kami, laut kami, tambang kami, gas kami, minyak kami,
perusahaan negara kami, silahkan anda ambil semua, termasuk harga diri
kami!
Tetapi jangan lupa, Tuan, lindungilah kekuasaan kami, dan bagi
sedikit rejeki itu buat kami. Supaya kami bisa hidup dan kendalikan
situasi, supaya tidak ada pergolakan di dalam negeri kami.
Ini jaman globalisasi, kita harus menyesuaikan diri, kita tidak bisa berdiri tanpa investasi.
Begitulah para borjuis komprador itu berceloteh tiap hari.
Sepertinya mereka tidak paham sejarah, bahwa pada tahun 1960 Bung
Karno berteriak lantang di depan Djuanda : “Kamu tahu, sejak 1932 aku
berpidato di depan Landraad soal modal asing ini? Soal bagaimana
perkebunan-perkebunan itu dikuasai mereka, jadi Indonesia ini tidak
hanya berhadapan dengan kolonialisme tapi berhadapan dengan modal asing
yang memperbudak bangsa Indonesia, saya ingin modal asing ini
dihentikan, dihancurleburkan dengan kekuatan rakyat, kekuatan bangsa
sendiri, bangsaku harus bisa maju, harus berdaulat di segala bidang,
apalagi minyak kita punya, coba kau susun sebuah regulasi agar bangsa
ini merdeka dalam pengelolaan minyak”.
Negara sekarang sudah menjadi alat kapitalisme! Aparatus negara
menjadi pelayan imperialisme! Haluan negara menjadi jalan tol bagi
neokolonialisme!
UU yang merugikan kepentingan nasional disusun dengan dukungan
dana-dana asing seperti UU No 22/2001 (Migas), UU No 19/2003 (BUMN), UU
No 7/2004 (Sumber Daya Air), UU No 30 Tahun 2007 (Energi), UU No 25/2007
(Penanaman Modal), UU No 9/2009 (Badan Hukum Pendidikan), UU No 27/2007
(Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil) dan UU Ketenagalistrikan.
Banyak kalangan mengatakan, USAID campur tangan menyalurkan dana
sebanyak 4 juta dolar AS dalam pembuatan UU Minyak dan Gas No. 22 tahun
2001. UU yang melegalisasi dominasi perusahaan asing di sektor migas,
sekaligus menghilangkan peran perusahaan negara sebagai soko guru
perekonomian bangsa.
Dengan janji akan memberi bantuan utang, Bank Dunia, Bank Pembangunan
Asia (ADB), dan Jepang terlibat dalam pembuatan UU Penanaman Modal No.
25 tahun 2007.
Dengan adanya UU itu, pemerintah bersama DPR telah mensyahkan praktik
liberalisasi investasi di berbagai sektor di Indonesia, menempatkan
perusahaan negara setara dengan perusahaan swasta asing, dan menjamin
pemerintah RI tidak akan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan
asing.
Demokrasi, kami tidak menolak demokrasi! Kami menjunjung tinggi demokasi!
Tetapi bukan jenis demokrasi yang hanya menjadi instrumen modal asing
untuk menguasai minyak dan gas (80-90%), perbankan (50.6%),
telekomunikasi (70%), kebun sawit (50%), pelayaran barang (94%),
pendidikan (49%), dan lain-lain.
Tetapi bukan jenis demokrasi yang mensyahkan penguasaan dan
perampasan tanah oleh modal asing untuk Perkebunan, Pertambangan dan
Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan menggusur Petani di negeri kami
sendiri!
Yang kami inginkan bukan demokrasi yang melindungi 60 persen
perusahaan tambang untuk tidak membayar pajak dan royalti kepada negara
kami, yang merampok uang yang seharusnya pemasukan negara kami sebesar
Rp 15.000 triliun setiap tahun dari hasil sumber daya alam kami.
Padahal, jika dibagi setiap warga negara Indonesia, setiap warga negara
kami akan mendapatkan Rp 20 juta setiap bulan.
Yang kami perjuangkan bukan demokrasi yang menyerahkan pengelolaan
150 juta hektar hutan secara liar kepada modal swasta di tanah kami.
Kami tahu, hanya 11 persen pengelolaan hutan yang memiliki izin sesuai
dengan peruntukkannya. Sekitar 89 persen hutan kami dirambah oleh para
pemodal, tanpa izin, sebagaimana diumumkan KPK tanggal 27 Feb 2013 lalu.
Kami tak ingin demokrasi yang melindungi konsentrasi asset, seperti
yang dicatat Badan Pertanahan Nasional (BPN), bahwa 0,2 persen penduduk
menguasai 56 persen aset di tanah air kami. Artinya, aset nasional
bangsa kami hanya dikusai oleh 440 ribu orang. Dari 52% tersebut, 87%
adalah tanah (Kompas.com, 26 April 2012). Dan 95% dari 26 juta keluarga
petani hanya memiliki lahan kurang dari 0,3 hektare. Untuk setara dengan
UMR (Rp 1,2 juta) per bulan, dibutuhkan lahan 2 hektar.
Kami menolak demokrasi yang bersistem hukum menindas, yang menindas
kaum minoritas dan orang miskin saudara kami, seperti yang dialami
seorang nenek yang mengambil 0,5 ons merica, nenek yang mengambil 3 biji
kakao, seorang kakek yang mengambil setandan pisang, bapak-bapak yang
mengambil singkong, mengambil kayu, hanya untuk menyambung hidup, tetapi
ditangkap, diadili dan dibui.
Kami menolak jenis demokrasi yang hanya menjadi pelindung pemilik
modal; demokrasi yang menindas serta memenjarakan Aktivis Agraria dan
Petani di Riau, Mesuji, Bima, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, maupun di daerah-daerah lainnya.
Ini data dan fakta yang disampaikan oleh KPA: tahun 2010 lalu
terdapat sedikitnya 106 konflik agraria, kemudian di 2011 terjadi
peningkatan, yaitu 163 konflik agraria, yang menyebabkan tewasnya 22
Petani di wilayah-wilayah konflik itu. Dalam tahun 2012, terdapat 198
konflik agraria di seluruh Indonesia.
Luas areal konflik mencapai lebih dari 963.411,2 hektar, serta
melibatkan 141.915 kepala keluarga (KK). Pada tahun 2012 sebanyak 156
petani telah ditahan, 55 orang mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25
petani tertembak, dan tercatat 3 orang telah tewas dalam konflik
agraria. Dari 198 kasus yang terjadi di tahun 2012, terbanyak terjadi di
sektor perkebunan dengan 90 kasus (45 persen) dan 20 persen di sektor
Kehutanan.
Kami menolak demokrasi liberal model barat, sistem demokrasi yang
tidak sesuai dengan budaya bangsa kami, yang hanya melahirkan lingkungan
politik yang tidak stabil dan memicu perpecahan bangsa. Demokrasi yang
sangat ramah dengan modal asing tetapi keras dengan bangsa sendiri.
Demokrasi yang hanya memberikan ruang hidup kepada para kapitalis tetapi
menyingkirkan kehidupan rakyat dari tanah airnya sendiri.
Demokrasi yang hanya memberikan kebebasan atau persamaan di lapangan
politik saja, tetapi tidak ada persamaan di lapangan ekonomi.
Yang akan unggul dan selalu menang dalam demokrasi liberal adalah
para pemilik modal, yang menguasai semua alat propaganda, seperti
lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, media massa, universitas, dan
lain-lain. Dengan kekuasaan modalnya, mereka bisa membeli panitia
pemilihan, bahkan bisa membeli suara rakyat yang terjepit kemiskinan.
Sekalipun setiap warga negara dianggap punya hak yang sama di
lapangan politik, tetapi pada kenyataannya hampir semua lembaga politik
dikontrol kaum pemilik modal, termasuk di dalamnya adalah penyusunan
undang-undang.
Sebagai pilar demokrasi, Partai Politik pun hanya dikuasai tuan tuan
feodal dan kaum oligarki; sekedar alat politik dinasti dengan struktur
serta mekanisme berdasarkan kasta-kasta; tidak memiliki dasar filosofi
apalagi garis politik maupun idiologi; sekedar kendaraan politik lima
tahunan dan bukan sebagai alat perjuangan.
Pada tanggal 17 Agustus 1964, Bung Karno berseru: “Hari depan
Revolusi Indonesia bukanlah menuju kapitalisme dan sama sekali bukan
menuju ke feodalisme, akan tetapi menuju ke sosialisme yang disesuaikan
dengan kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan Rakyat Indonesia,
dengan adat-istiadat, dengan psikologi dan kebudayaan Rakyat Indonesia.”
Bung Karno sudah menegaskan, demokrasi yang ingin kami tegakkan
adalah demokrasi massa rakyat; tidak hanya sebatas demokrasi politik
saja, tetapi juga menegakkan demokrasi ekonomi di tengah-tengah rakyat.
Yakni: demokrasi yang bisa mengangkat harkat martabat bangsa kami yang
miskin untuk memperbaiki masa depannya; dengan menegakkan prinsip gotong
royong, membanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, bantu
membantu, tolong menolong, berjuang untuk kepentingan bersama,
kebahagiaan buat semua bangsa Indonesia.
Jadi sudah terang benderang, imperialisme bersama sistem idiologi dan
politiknya, yakni demokrasi liberal, termasuk para pendukungnya yaitu
kaum komprador, kaum reformis gadungan, golongan kepala batu, golongan
bunglon dan cecunguk, adalah rintangan utama bagi bangsa Indonesia untuk
maju dan berkembang.
Imperialisme telah menjadikan bangsa Indonesia terpecah belah,
menjadikan bangsa kita miskin dan terbelakang. Imperialisme menjadikan
bangsa kita bangsa budak, baik di negeri sendiri maupun di negeri-negeri
lain. imperialisme memaksa bangsa Indonesia tunduk dengan keinginan
bangsa asing.
Jika pada tahun 1959, dengan menggunakan Dekrit, Bung Karno mengubur
demokrasi liberal. Sekarang demokrasi liberal itu dibangkitkan kembali
dan dijadikan berhala oleh para penguasa masa kini.
Maka dari itu, sebagai syarat kita membangun masyarakat Indonesia
yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, tidak ada jalan lain selain
memenangkan kembali cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dengan
menegakkan: berdauat di bidang politik, mandiri di lapangan ekonomi, dan
berkepribadian di lapangan budaya.
Indonesia harus terbebas dari feodalisme, neokolonialisme, imperialisme serta kapitalisme!
Untuk itu, dibutuhkan kader-kader bangsa yang berpikiran maju serta
berpendirian anti imperialisme, anti neokolonialisme, anti kapitalisme,
dengan jiwa besar membangun persatuan nasional yang kokoh, dari bawah
sampai ke atas, bergerak mengusir serta merobohkan pilar-pilar
kapitalisme, bergotong royong menata ulang kehidupan berbangsa serta
bernegara dengan filosofi serta dasar Pancasila dan UUD 1945.
Karena lahir dari revolusi nasional Indonesia, maka Pancasila dan UUD
Proklamasi 1945 itu memiliki jiwa dan semangat anti kolonialisme dan
anti imperialisme. Ia menjadi pegangan hidup dan sekaligus pedoman
berjalannya revolusi Indonesia. Dan karena itulah, Bung Karno menamai
momentum kembalinya UUD Proklamasi 1945 pada tahun 1959 sebagai
“Penemuan Kembali Revolusi Kita”.
Pancasila dan UUD Proklamasi 1945 adalah anak kandung revolusi
Agustus 1945, revolusi nasional nya bangsa Indonesia, maka Pancasila dan
UUD Proklamasi 1945 adalah milik dan pegangan hidup seluruh bangsa
Indonesia baik di masa lalu, sekarang maupun di masa depan.
Hentikan Neokolonialisme,
Laksanakan Pasal 33 UUD 1945!
Salam Gotong Royong!
Agus Jabo Priyono/Ketua Umum PRD
Sumber Artikel:Berdikari Online, Minggu, 21 Juli 2013
Pidato Politik Ketua Umum PRD Menyambut Ulang Tahun PRD ke 17
under:
Politik
Search
Pengunjung
Kategori
- Berdikari (14)
- Internasional (4)
- Kabar Juang (3)
- Kabar Rakyat (4)
- Organisasi (1)
- Politik (8)
- sastra (1)
- Soekarnoisme (6)
- Statement (5)
- Tokoh (4)
Jaringan
Mengenai Saya
- Randy Syahrizal
- mempunyai minat menulis sejak kuliah di Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra USU tahun 2003. Pernah menulis di beberapa media lokal (Sumatera Utara) dan Media Online Nasional. Blog pribadi saya : http://ceritadarimedan.blogspot.com
0 Comments Received
Leave A Reply