Opini :Kekerasan Massa adalah Buah dari Hilangnya Haluan Negara
UUD 1945 Dicampakkan, Indonesia Diambang Keretakan
Akibat kepemimpinan nasional yang menyeleweng dari Konstitusi, yakni
UUD 1945, Indonesia terus terperangkap dalam berbagai persoalan. Bahkan,
jika tak berhasil diatasi, persoalan tersebut bisa menggiring Indonesia
ke ambang keretakan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik
(PRD), Agus Jabo Priyono, di Jakarta, Sabtu (30/3). Menurutnya, berbagai
persoalan itu menunjukkan Indonesia sebagai sebuah bangsa sedang
mengalami krisis yang cukup serius.
“Ada Kapolres yang tewas diamuk massa, tahanan di LP (Lembaga
Pemasyarakatan) tiba-tiba diserbu kelompok bersenjata, Kantor Mapolres
di OKU dibakar oknum tentara, dan masih banyak lagi kasus serupa. Ini
gejala krisis dalam institusi negara saat ini,” kata Agus Jabo.
Di pihak lain, kata Agus Jabo, satu persatu pejabat negara, dari
Menteri, Gubernur, Anggota DPR, pimpinan Parpol, Jenderal Polisi,
pejabat Kejaksaan, dan lain-lain, ditangkap karena terlibat kasus
korupsi.
“Sementara kehidupan rakyat makin susah. Upah buruh ditekan serendah
mungkin. Tanah petani dirampas oleh pemodal. Layanan publik seperti
pendidikan dan kesehatan diprivatisasi. Harga sembako terus meroket
membuat rakyat menjerit-jerit,” ujarnya.
Agus Jabo melihat, di satu sisi rakyat mengalami kesulitan hidup yang
luar biasa, sementara di sisi para pejabat kesurupan berebut jabatan.
Sudah begitu, kata dia, hampir semua partai politik sibuk mengurus
kepentingan politik masing-masing.
Menurut Agus Jabo, kondisi di atas seakan memperlihat Indonesia
sebagai sebuah bangsa tanpa tujuan, tidak punya arah, dan tidak punya
prinsip kebangsaan. “Saya kira sudah jelas, Indonesia ini lahir dari Proklamasi 17
Agustus 1945. Cita-citanya pun sudah sangat jelas, yakni mewujudkan
masyarakat adil dan makmur. Cita-cita nasional itu juga jelas termaktub
dalam Pembukaan UUD 1945,” katanya.
Bahkan, kata Agus Jabo, ketika para pendiri bangsa menyusun negara
ini, mereka mewariskan konstitusi (UUD 1945) sebagai pegangan dalam
mengarungi kehidupan berbangsa menuju cita-cita. Sayangnya, ujar Agus Jabo, para penyelenggara negara justru
mencampakkan UUD 1945 itu. “Sejak orde baru hingga sekarang, UUD 1945
sudah dicampakkan. Bahkan, di masa SBY ini, UUD 1945 benar-benar tidak
dipakai lagi,” tegasnya.
Agus Jabo mencontohkan, seharusnya kemerdekaan beragama itu dijamin
sebagaimana perintah UUD 1945, tetapi pemerintahan SBY seolah-olah
membiarkan praktek intoleransi merobek-robek kemerdekaan dan kerukunan
antar umat beragama.
Yang lebih parah lagi, kata dia, pasal 33 UUD 1945 yang mengatur soal
politik perekonomian Indonesia justru diabaikan. “Malahan SBY
mengadopsi kebijakan neoliberal sesuai kehendak IMF, Bank Dunia, dan
WTO,” tegasnya.
Akibatnya, ungkap Jabo, meskipun Indonesia punya kekayaan yang
melimpah dan tanah yang subur, rakyat Indonesia sulit membeli bawang,
beras, daging, dan kebutuhan pokok lainnya.
Mahesa Danu
Selengkapnya...
Mengenal Sosio-Nasionalisme Bung Karno
Banyak orang sekarang ini, termasuk golongan kiri, melihat nasionalisme dalam satu wajah saja: chauvinis.
Bagi mereka ini, nasionalisme tak lebih sebagai ekspresi ideologi
borjuis. Karena itu, nasionalisme dalam segala manifestasinya akan
selalu mengancam perjuangan klas pekerja.
Mereka juga beranggapan, nasionalisme sudah pasti berlawanan dengan
semangat internasionalisme. Nasionalisme merayu klas pekerja untuk punya
tanah-air. Loyalitas klas pekerja dipaksakan pada sebuah kebangsaan.
Alhasil, kepentingan klas diringkus dalam bingkai “kepentingan
nasional”.
Tetapi sebetulnya tidak sepenuhnya demikian. gerakan pembebasan
nasional di negara-negara jajahan telah melahirkan nasionalisme dalam
wajah lain: anti-kolonialisme, populis, demokratis, dan humanis.
Bung Karno juga punya konsep nasionalisme sendiri:
sosio-nasionalisme. Namun, gara-gara jarang dibaca, apalagi dikaji
secara mendalam dan intensif, maka ajaran sosio-nasionalisme ini kurang
dikenal. Padahal, bagi saya, cita-cita sosio-nasionalisme ini justru
sejalan dengan cita-cita sosialisme.
Dasar Teori Sosio-Nasionalisme
Ajaran sosio-nasionalisme mulai muncul tahun 1930-an. Pada saat itu,
sudah muncul banyak gerakan nasionalis. Paling banyak adalah nasionalis
radikal: Tjipto Mangkusumo, Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan
lain-lain.
Ada dua ajaran yang sangat berpengaruh pada kelahiran sosio-nasionalisme:
Pertama, ajaran nasionalisme yang berkembang di Tiongkok dan India.
Bung Karno banyak mempelajari ajaran nasionalisme yang berkembang di
kedua negara tersebut. Kita tahu, ajaran nasionalisme di kedua negara
itu sangat progressif, anti-kolonialisme, dan humanistik. kita tentu sering mendengar kata-kata Mahatma Gandhi: My nationalism is humanity. Bagi Gandhi, menjadi patriotik nasionalis adalah karena kita manusia dan mencintai kemanusiaan.
Gandhi mengajarkan bentuk nasionalisme yang lain: nasionalisme yang
hendak mengorganisir bangsa-bangsa untuk hidup sederajat dan
berdampingan dengan bangsa-bangsa lain. Kata Gandi, jalan nasionalisme
India bukanlah melayani kepicikan, egoisme, kebangsaan sempit, dan
chauvinis. Sebaliknya, nasionalisme India hendak melayani kemanusiaan.
Kita juga mengenal nasionalis progressif dari dataran Tiongkok, Sun Yat Sen. Ajarannya sangat terkenal: San-min Chu-i
(tiga prinsip Rakyat), yaitu nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme.
Di tangan Sun Yan Set, cita-cita nasional Tiongkok hendak menggabungkan
tiga ajaran besar itu.
Kedua, ajaran marxisme. Bung Karno sangat terpengaruhi oleh marxisme.
Ia bahkan mengaku sebagai seorang marxis. Bagi Soekarno, marxisme
merupakan teori paling kompeten dalam memecahkan soal-soal sejarah,
politik, dan kemasyarakat.
Bung Karno sendiri pernah bilang, “Marxisme itulah yang membuat saya
punya nasionalisme berlainan dengan nasionalismenya nasionalis Indonesia
yang lain, dan Marxisme itulahyang membuat saya dari dulu benci
fasisme.”
Marxisme mempengaruhi analisa Bung Karno soal kolonialisme. Ia tak
melihat kolonialisme dari aspek rasialis: Suku, Agama, dan Ras. Karena
itu, nasionalisme Soekarno, karena dipengaruhi oleh marxisme, tak punya
kecenderungan sedikit pun untuk rasialis dan fasistik.
Bung Karno melihat kolonialisme, juga imperialisme, sebagai bentuk-bentuk akumulasi dari kapitalisme. Dalam pidato pembelaannya, Indonesia Menggugat,
ia mengatakan, nafsu akumulasi kapitalisme telah mendorongnya merampas
negeri-negeri lain dan mengubahnya menjadi jajahan; dan dari situ mereka
mengambil bekal industri, mendorong daerah-daerah pasar bagi hasil
industrinya, dan menciptakan lapangan baru bagi bergeraknya modal
mereka.
Namun, marxisme mempengaruhi Bung Karno sangat jauh. Ia menyadari,
menghilangkan kolonialisme tanpa menghilangkan kapitalisme sama saja
dengan omong-kosong. Itu sama dengan anekdok: keluar dari mulut singa,
masuk ke mulut buaya.
Karena itu, perjuangan pokok bangsa Indonesia tidaklah sekedar
anti-kolonialisme, tetapi harus mengarah pada anti-kapitalisme. Ia tak
hanya melawan kapitalisme bangsa lain, tetapi juga harus mencegah
kapitalisme bangsa sendiri.
Nasionalisme eropa dan Indonesia
Bung Karno membedakan antara nasionalisme eropa dan dunia timur
(jajahan). Bagi Bung Karno, nasionalisme eropa adalah suatu nasionalisme
yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar
keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi.
Kenapa bisa begitu? Sebab, nasionalisme eropa memang digerakkan oleh
nafsu kapitalisme. Karl Marx dalam Manifesto Komunis (1848) menjelaskan,
“Kebutuhan akan pasar yang senantiasa meluas untuk barang-barang
hasilnya mengejar borjuasi ke seluruh muka bumi. Ia harus bersarang di
mana-mana, bertempat di mana-mana, mengadakan hubungan-hubungan di
mana-mana.”
Bagi borjuis di eropa, negara nasional tak lain sebagai peralatan
mereka untuk menopang proses akumulasi, yaitu perluasan pasar, pencarian
bahan mentah, tenaga kerja murah, dan pencarian sirkuit baru bagi
akumulasi kapital.
Namun, berbeda halnya dengan nasionalisme di dunia timur (jajahan).
Nasionalisme di timur lahir karena eksploitasi kolonial. Dengan
demikian, mereka menentang segala bentuk kolonialisme. Nasionalisme di
timur banyak digerakkan ide-ide progressif: demokrasi, humanisme, dan
sosialisme.
Soekarno sangat mengakui hal itu. Ia bilang, “Nasionalisme di dunia
Timur itu lantas ‘berkawinlah’ dengan Marxisme itu, menjadi satu
nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu itikad baru, satu senjata
perjuangan yang baru, satu sikap hidup yang baru. Nasionalisme-baru
inilah yang kini hidup di kalangan Rakyat Marhaen Indonesia.”
Esensi Sosio-Nasionalisme
Bung Karno mendefenisikan sosio-nasionalisme sebagai nasionalisme
massa-rakyat, yaitu nasionalisme yang mencari selamatnya massa-rakyat.
Bung Karno mengatakan, cita-cita sosio-nasionalisme adalah
memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat, sehingga masyarakat
yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada lagi kaum
tertindas, tidak ada kaum yang celaka, dan tidak ada lagi kaum yang
papa-sengsara.
Karena itu, kata Bung Karno, sosio-nasionalisme adalah nasionalisme
kaum marhaen. Dengan demikian, sosio-nasionalisme menentang borjuisme
dan keningratan. Inilah tipe nasionalisme yang menghendaki “masyarakat
tanpa klas”.
Sebagai konsekuensinya, sosio-nasionalisme menganggap kemerdekaan
nasional bukan sebagai tujuan akhir. Bung Karno berulang-kali menyatakan
kemerdekaan hanya sebagai “jembatan emas” menuju cita-cita yang lebih
tinggi.
Dalam tulisannya, “Mencapai Indonesia Merdeka”, yang diterbitkan pada
tahun 1933, Bung Karno menegaskan bahwa tujuan pergerakan nasional kita
mestilah mengarah pada pencapaian masyarakat adil dan sempurna, yang di
dalamnya tidak ada lagi penghisapan. Berarti, tidak boleh ada
imperialisme dan kapitalisme.
Nah, supaya kemerdekaan politik itu tidak disabotase oleh
imperialisme, ataupun oleh kaum borjuis dan feodal di dalam negeri, maka
kekuasaan politik indonesia pasca merdeka haruslah dipegang oleh kaum
marhaen atau massa-rakyat Indonesia. Inilah esensi dari sosio-demokrasi
(Kita akan membahasnya di artikel lain).
Bung Karno kuat-kuat berpesan, “dalam perjuangan habis-habisan
mendatangkan Indonesia Merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan
sampai nanti mereka yang kena getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya.”
Karena sosio-nasionalisme bervisi “social conscience of man”
(budi nurani sosial manusia), maka semangat sosio-nasionalisme adalah
internasionalisme. Dalam pidato 1 Juni 1945—lahirnya Pancasila, Soekarno
menjelaskan hubungan dialektik antara nasionalisme Indonesia dan
internasionalisme: Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau
tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat
hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme.
Dengan demikian, sosio-nasionalisme bisa disederhanakan sebagai
berikut: (1) sosio-nasionalisme merupakan ajaran politik yang
memperjuangkan masyarakat tanpa klas alias masyarakat adil dan
makmur. (2) sosio-nasionalisme memberi kerangka pada revolusi Indonesia
agar tak berhenti pada revolusi nasional semata, tetapi harus berlanjut
pada transisi menuju sosialisme. (3) Sosio-nasionalisme meletakkan
semangat kebangsaan negeri terjajah berjalan seiring dengan cita-cita
internasionalisme.
Kusno, Kader Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Selengkapnya...
Bung Karno: Ya, Aku Marxis!
Fabruari 1966. Suasana Ibukota Republik Indonesia, Jakarta, masih
genting. Anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI)
dikejar-kejar, disiksa, dipenjara, dan dibantai. Kantor Central Comite
(CC) PKI di Jalan Kramat 81, Jakarta Pusat, sudah ludes dibakar massa
anti-komunis.
Kekuasaan Bung Karno diujung tanduk. Kudeta merangkak yang dirancang
Soeharto dan CIA memang menyasar Bung Karno. Maklum, di bawah kekuasaan
Bung Karno, haluan ekonomi-politik Indonesia sangat anti-kolonialisme
dan anti-imperialisme.
Soeharto dan kelompoknya berusaha menyeret Bung Karno ke dalam
peristiwa G/30/S. Untuk itu, disusunlah propaganda mendiskreditkan Bung
Karno. Poster dan famplet, yang didalamnya menyebut Soekarno seorang marxis, disebar dan ditempel dimana-mana.
Bung Karno tidak gentar. Tanggal 28 Februari 1966, di hadapan peserta
Sapta Warsa Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI), Bung Karno
terang-terangan mengakui dirinya seorang marxis. “Aku tegaskan dengan
tanpa tedeng aling-aling, ya, aku marxis,” kata Bung Karno.
Itu bukan pertama kalinya Bung Karno menyebut diri marxis. Tanggal 6
September 1966, ketika menerima delegasi Angkatan 45 di Istana Negara,
Bung Karno juga menyatakan dirinya seorang marxis. Bahkan, menurut
pengakuannya, sejak tahun 1928, Ia sudah menjadi marxis, sekaligus
nasionalis dan agamais. “Marxisme adalah isi dada saya,” ujar Bung
Karno.
Bahkan, di pertemuan dengan Angkatan 45 itu, Bung Karno sempat
mengungkapkan kemarahannya kepada MPRS yang berkeinginan melarang ajaran
marxisme. “Kalau engkau (MPRS) mengambil keputusan melarang Marxisme,
Leninisme, Komunisme, saya akan ketawa,” tegasnya.
Bagi Bung Karno, sebuah ideologi atau ajaran tidak boleh dilarang.
Yang harus dilarang, katanya, adalah kegiatan marxisme atau komunisme
yang merugikan negara. Ia sadar, sebuah ajaran atau pemikiran tidak
terlepas dari sociaal economische verhoudingen (relasi sosial ekonomi). Ia mencontohkan, marxisme tidak akan pernah bisa dihilangkan jikalau sociaal economische verhoudingen masih sangat buruk. Sebab, marxisme adalah senjatanya kaum tertindas untuk membebaskan diri dari segala bentuk penghisapan.
Marxisme sendiri sangat mempengaruhi Bung Karno. Dalam artikel berjudul “Menjadi Pembantu Pemandangan: Soekarno, oleh…Soekarno sendiri”,
yang dimuat di Pemandangan, 1941, Bung Karno menganggap marxisme
sebagai teori yang paling kompeten untuk memecahkan soal sejarah,
politik, dan sosial-kemasyarakatan.
Bung Karno juga mengakui, berkat kontribusi marxisme, ajaran
nasionalismenya tidak tergelincir ke chauvinisme dan fasisme. Memang, di
banyak negara, terutama di Eropa, ajaran nasionalisme cenderung menjadi
chauvinis dan fasistik.
Di tahun 1920, era ketika Bung Karno mulai tampil di pentas
pergerakan, pengaruh marxisme sangat kuat. Hampir semua tokoh pergerakan
saat itu, termasuk Tjokroaminoto, sangat terpengaruh marxisme. Banyak
Haji-Haji dan pemuka agama juga menjadi marxis, seperti Haji Misbach,
Haji Datuk Batuah, KH Tubagus Achmad Chatib, Natar Zainuddin, dan
lain-lain.
Soekarno mengaku belajar marxisme sejak usia 16 tahun. Di Surabaya,
saat mondok di rumah HOS Tjokroaminoto, Soekarno menyelami marxisme.
Awalnya, ia mempelajari marxisme dari para penafsir marxisme. Setelah
itu, ia mulai membaca karya-karya Marx dan Engels. “Pada waktu muda-mudi
yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan Das Capital. Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi,” kenang Bung Karno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Rumah Tjokro sendiri sering berfungsi sebagai tempat mangkalnya
aktivis pergerakan. Tokoh-tokoh komunis, seperti Semaun, Sneevliet,
Alimin, dan Musso, serang datang ke rumah Tjokro. Di situlah Bung Karno
muda mengenal tokoh-tokoh marxis tersebut. “Bahanku juga dari marxisme,
yang aku dapat dari Semaun, yang aku dapat dari pemimpin-pemimpin
Belanda seperti Hartogh dan Sneevliet,” kata Bung Karno seperti dikutip
Budi Setiyono dan Bonnie Triyana dalam buku kumpulan pidato, Revolusi Belum Selesai.
Dengan menjadikan marxisme sebagai alat analisanya, Bung Karno
berusaha menganalisa situasi dan perkembangan masyarakat Indonesia.
Hasilnya jelas: Marhaenisme. Dan ajaran Marhaenisme ini, seperti sering
ditegaskan Bung Karno, adalah Marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan,
dilaksanakan di Indonesia.
Marxisme juga mempengaruhi ajaran Bung Karno yang lain, terutama
Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Bahkan, kalau mau jujur,
Pancasila sendiri sangat kental dengan pengaruh marxisme. Nama Lenin,
pemimpin komunis Uni Soviet, juga beberapa kali disebut dalam Pidato 1
Juni 1945—lahirnya Pancasila.
Para pendiri bangsa, seperti Bung Hatta dan Sjahrir, juga sangat
dipengaruhi Marxisme. Penyusunan konstitusi kita, UUD 1945, banyak
disumbangkan oleh tokoh-tokoh bangsa beraliran marxis. Sampai-sampai
mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, menyebut UUD 1945 sangat dipengaruhi “Das Capital”.
Bung Karno juga sering murka kepada kaum intelektual, termasuk
professor, yang mengabaikan Marxisme. Pada saat pembukaan Upgrading
Wartawan PWI di Istana Bogor, 12 Februari 1966, Bung Karno menyindir
professor ekonomi yang hanya mengajarkan liberalisme ekonomi kepada
mahasiswa Universitas, tetapi mengabaikan marxisme dan ajaran-ajaran
Karl Marx.
Marxisme dengan berbagai variannya sangat berkontribusi dalam
perjuangan nasional Indonesia. Para pendiri bangsa juga banyak
dipengaruhi oleh marxisme. Karena itu, tak bisa disangkal lagi,
berdirinya NKRI ini tidak lepas dari kontribusi marxisme.
Ironisnya, dalam pembahasan Rancangan KUHP, DPR masih berusaha keras
menempatkan ajaran Marxisme sebagai musuh NKRI, Pancasila, dan UUD 1945.
Bahkan, tindakan yang dianggap menyebarkan dan mengembangkan ajaran
komunisme/Marxisme-Leninisme akan diganjar hukuman penjara 7 tahun.
Saya bisa menyimpulkan: kalau DPR sampai tetap melakukan itu, berarti
mereka telah menyangkal dan mengharamkan pemikiran Bung Karno, Bung
Hatta, Bung Sjahrir, dan lain-lain. Artinya, mereka telah berusaha
mengubur pemikiran yang berkontribusi dalam perjuangan bangsa ini.
Risal Kurnia
Selengkapnya...
Tokoh Sejarah
Nicolas Maduro, Dari Sopir Bus Hingga Sopir Revolusi
Banyak yang mengatakan, setelah Hugo Chavez sudah tiada, revolusi Bolivarian Venezuela akan kekosongan figur. Maklum, kata mereka, revolusi Bolivarian terlalu tersentral di figur Comandante Chavez. Namun, kekhawatiran itu tidak beralasan. Segera setelah Chavez meninggal, barisan revolusi tidak berlama-lama untuk memunculkan satu figur, yakni Nicolas Maduro. Bahkan, barisan revolusi sudah aklamasi mengusung Maduro sebagai kandidat Presiden untuk Pilpres tanggal 14 April mendatang. Selain disokong oleh partai bentukan Chavez, Partai Sosialis Venezuela (PSUV), Maduro juga sudah resmi didukung oleh Partai Komunis Venezuela (PSUV), REDES, Tupamaro, MEP, PPT, dan Podemos. Mereka bernaung dibawah sebuah payung lebar Kutub Patriotik Besar (GPP). Namun, siapakah Nicolas Maduro ini? Nicolas Maduro lahir tahun 1962 di Cacaracas. Ia lahir di tengah-tengah keluarga revolusioner. Ayahnya adalah aktivis buruh dan salah satu pendiri partai Sosial-Demokrati Acción Democrática (AD). Pada tahun 1952, ayahnya terlibat dalam mengorganisir pemogokan minyak yang gagal melawan kediktatoran. Gara-gara itu, ayahnya—termasuk keluarganya—harus melarikan diri dan bersembunyi. Pada tahun 1967, Maduro diajak ayahnya mengikuti pertemuan Movimiento Electoral del Pueblo, sebuah organisasi politik pecahan AD, yang berhasil membawa dukungan populer kepada kandidat Presiden Luis Beltrán Figueroa. Sayang, Luis Figueroa kalah tipis oleh Rafael Caldera. Namun, pengalaman itu penting bagi Maduro. Selama kampanye, Maduro menerobos pemukiman kumuh (barrio) dan melihat dari jarak dekat kemiskinan rakyat Venezuela. Ia melihat rumah-rumah kardus, yang sangat umum ditemui di Venezuela. Yang menarik, sekalipun ayahnya punya kecenderungan Sosial-Demokrat, Maduro justru mengarah ke pemikiran revolusioner. Di kelas 4 SD, ketika gurunya menjelek-jelekkan Kuba, Maduro tampil membela revolusi Kuba. Gara-gara itu, ia diskor selama tiga hari dan diharuskan bekerja di perpustakaan. Namun, siapa sangka, di perpustakaan itulah kegelisahan intelektualnya ditumpahkan. Ia membaca buku-buku revolusioner. Pada usia 12 tahun, ia bergabung dengan Partai Revolusioner Venezuela (PRV-Ruptura). Partai ini didirikan oleh Douglas Bravo, mantan komandan gerilyawan dan bekas aktivis Partai Komunis Venezuela (PCV). Di gerakan ini, tanpa sepengetahuan orang tuanya, Maduro terlibat dalam pengorganisiran klub film, serikat buruh, dan angkan bersenjata klandestein. Namun, siapa sangka, semasa di SMA, Maduro punya ketertarikan luar biasa terhadap musik. Ia tercatat sebagai basis dari grup band bernama Enigma. Meski begitu, Maduro menolak menjerumuskan diri sepenuhnya dalam pergaulan anak muda jaman itu, yang identik dengan narkoba dan perang geng. Di sekolahnya Maduro terbilang pintar. “Nicolas sangat analitis dan cerdas,” kata bekas teman sekolahnya, Alberto Vivas. Maduro juga aktif berolahraga. Dia—seperti juga Chavez—adalah pemain bisbol yang handal. Begitu dewasa, Maduro makin aktif dalam gerakan revolusioner. Ia mempelajari marxisme klasik dan menghidangkannya dalam konteks masyarakat Venezuela. Ia ambil bagian dalam gerakan revolusioner Organización de Revolucionarios, yang kemudian muncul ke rakyat dengan nama Liga Socialista. Organisasi ini merupakan pecahan dari Movimiento de Izquierda Revolucionaria (MIR). Pendiri organisasi ini, Jorge Antonio RodrÃguez, dibunuh oleh intelijen militer pada tahun 1976. Tahun 1991, Maduro memilih bekerja di Metro-Caracas. Sejak tahun 1980an, Caracas sudah mengenal rapid transit system, atau sering disebut “Metro Caracas”. Sistem ini digerakkan oleh dua model transportasi utama: Subway dan Metrobus. Kedua-duanya pernah dijalani oleh Nicolas Maduro. Maduro adalah pendiri Serikat Pekerja Subway pertama di Caracas. Sekarang, serikat pekerja subway adalah pendukung UNT (gabungan serikat buruh yang mendukung revolusi Bolivarian). Maduro mulai mengenal Chavez melalui TV. Saat itu, setelah memimpin pemberontakan militer yang gagal, Chavez muncul di Televisi dan mengucapkan kata-katanya yang banyak dikenang “por ahora” (untuk sekarang). Setahun kemudian, ia bersama kawan-kawannya aktivis buruh mengunjungi Chavez di penjara. Saat itu, Chavez memberi Maduro nama samaran “Verde”. Ia juga menjalankan tugas-tugas konspiratif dari Chavez. Begitu Chavez keluar penjara tahun 1994, ia membantu Chavez membangun Pergerakan Bolivarian Revolusioner (MBR-200). Pada tahun 1994, Maduro sudah menjadi biro nasional MBR-200. Ia menyertai kampanye MBR-200 dalam jajak-pendapat untuk mengetahui apakah rakyat menyetujui Chavez sebagai presiden. Pada tahun 1997, seusai melakukan jajak pendapat dan berkampanye ke seluruh negeri, para aktivis MBR-200 sepakat membentuk mesin electoral: Pergerakan Republik Kelima (MVR). Maduro aktif berjuang bersama MVR dalam memenangkan Chavez dalam pemilu 1998. Ketika Chavez berkuasa dan mengkampanyekan Majelis Konstituante, Maduro terlibat di dalamnya. Ia menjadi anggota Majelis Nasional. Dengan begitu, ia berkontribusi dalam melahirkan Konstitusi Bolivarian (1999). Setahun kemudian, ia menjadi anggota Majelis Nasional. Pada tahun 2006, ia dipercaya menjadi presiden Majelis Nasional. Pada Agustus 2006, Presiden Hugo Chavez menunjuk Maduro sebagai Menteri Luar Negeri Republik Bolivarian Venezuela. Sejak itu, namanya pun melejit sebagai diplomat ulung di forum-forum regional maupun internasional. Nicolas Maduro menikah dengan seorang pengacara bernama Cilia Flores, yang lebih tua 9 tahun dari dirinya. Cilia ini dikenal sebagai Chavismo dan menjadi pengacara pembela Chavez saat dipenjara. Cilia juga merupakan tokoh penting di Partai Sosialis Venezuela (PSUV). Maduro adalah produk Revolusi Bolivarian. Ia menggeser pandangannya dari marxis ortodoks menjadi heterodox sesuai ide-ide revolusi Bolivarian. Dan, jika Maduro terpilih sebagai Presiden pada pemilu mendatang, maka ia mengikuti jejak Lulu Da Silva sebagai aktivis buruh yang menjadi Presiden. Risal Kurnia Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20130324/nicolas-maduro-dari-sopir-bus-hingga-sopir-revolusi.html#ixzz2ORSei7Dx Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook Selengkapnya...
Surat Untuk Idaman
Search
Pengunjung
Kategori
- Berdikari (14)
- Internasional (4)
- Kabar Juang (3)
- Kabar Rakyat (4)
- Organisasi (1)
- Politik (8)
- sastra (1)
- Soekarnoisme (6)
- Statement (5)
- Tokoh (4)
Jaringan
Mengenai Saya
- Randy Syahrizal
- mempunyai minat menulis sejak kuliah di Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra USU tahun 2003. Pernah menulis di beberapa media lokal (Sumatera Utara) dan Media Online Nasional. Blog pribadi saya : http://ceritadarimedan.blogspot.com