Kekerasan Massa adalah Buah dari Hilangnya Haluan Negara

Akhir-akhir ini, aksi kekerasan terhadap aparat negara semakin marak terjadi. Beberapa kejadian dibulan ini saja (Maret 2013), setidaknya ada beberapa kasus kekerasan yang melibatkan rakyat dengan kepolisian. Di Penyabungan Sumatera Utara (22/03/2013) melakukan aksi pemblokiran jalan lintas Sumatera terkait penangkapan ratusan penambang dari Bukit Sihayo, Sumatera Utara. Diduga tindakan kepolisian adalah upaya untuk membackup PT. Sorikmas Mining, karena perusahaan ini mengklaim keberadaan aktifitas mesyarakat penambang berada diwilayah kontraknya. Aksi menuntut dibebaskannya ratusan penambang ini berakhir bentrok. Massa melempari barisan polisi dengan batu dan membakar tiga unit mobil dinas polisi.
            Di Simalungun, Kapolsek Dolok Panribuan  AKP Andar Siahaan juga tewas dikeroyok massa. Tindakan pengeroyokan itu berawal dari upaya penggerebekan judi KIM/Togel di Desa Dolok. AKP Andar Siahaan yang berpakaian preman diteriakin maling oleh masyarakat dan dikeroyok sampai tewas. Harian Sindo menyebutkan bahwa tindakan pengeroyokan tidak akan terjadi jika sang Kapolsek memakai seragam resmi dalam mengerjakan tugasnya itu. Lagi pula, situasi masyarakat desa sedang mengalami phobia terhadap orang asing yang kerap kali melakukan aksi pencurian.
            Aksi pembunuhan anggota Kopasus disebuah tempat hiburan di jogja juga tak kalah hebohnya. Empat tersangka pembunuhan anggota Kopasus harus kehilangan nyawanya di dalam sel mereka sendiri, dan hingga tulisan ini dibuat, pelakunya masih menjadi misteri. Diduga pembunuhan di LP Sleman dilakukan oleh kelompok profesional dan terlatih. Dan sebelumnya, kehebohan terjadi akibat pembakaran kantor Polres Oku (Sumatera Selatan) oleh serombongan tentara.
            Ada beberapa motif yang mendasari peristiwa kekerasan tersebut. Dalam kasus penambang di Penyabungan, tindakan kekerasan bermotifkan ekonomi. Masyarakat penambang menggantungkan hidupnya dengan menambang emas. Pelarangan dan penangkapan akan berarti sebagai hilangnya mata pencaharian mereka. Tiadanya saluran aspirasi rakyat yang berpihak kepadanya membuat mereka mengambil tindakannya sendiri. Hukum sudah tidak lagi dipandang penting dalam menyelesaikan perkara.  Peristiwa diatas adalah bentuk ketidakpercayaan masyarakat dan juga aparat negara atas proses hukum di Indonesia.

Teori Kekerasan Massa

N.J. Smelser menjelaskan tahap-tahap terjadinya kekerasan massa. Menurutnya, ada lima tahapan yang menyertai munculnya kekerasan ini, yaitu pertama, Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kerusuhan atau kekerasan akibat struktur sosial tertentu, seperti tidak adanya saluran yang jelas dalam masyarakat, tidak adanya media untuk mengungkapkan aspirasi-aspirasi, dan komunikasi antarmereka.
kedua,  Kejengkelan atau tekanan sosial, yaitu kondisi karena sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai-nilai dan norma yang sudah dilanggar. ketiga, Berkembangnya prasangka kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu. Sasaran kebencian ini berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa tertentu yang mengawali atau memicu suatu kerusuhan.
keempat, Mobilisasi massa untuk beraksi, yaitu adanya tindakan nyata dari massa dan mengorganisasikan diri mereka untuk bertindak. Tahap ini merupakan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan pecahnya kekerasan massa. Sasaran aksi ini bisa ditujukan kepada pihak yang memicu kerusuhan atau di sisi lain dapat dilampiaskan pada objek lain yang tidak ada hubungannya dengan pihak lawan tersebut.
kelima, Kontrol sosial, yaitu kemampuan aparat keamanan dan petugas untuk mengendalikan situasi dan menghambat kerusuhan. Semakin kuat kontrol sosial, semakin kecil kemungkinan untuk terjadi kerusuhan

Depresi Massal

            Selain motif ekonomi dan hilangnya kewibawaan hukum dimata rakyat, masalah penyelewengan pejabat negara (seperti korupsi) telah mengakibatkan depresi massal ditingkatan bawah (rakyat). Kenaikan harga-harga sembako telah menghilangkan kepercayaan rakyat terehadap kementrian yang mengurusi masalah pangan, kesejahteraan rakyat dan perekonomian nasional.
            Masyarakat yang frustrasi ini akan menganggap ada atau tidak adanya penyelenggara negara dengan perasaan yang sama saja. Perasaan ini adalah akibat dari sirnanya harapan rakyat akan perubahan perbaikan kehidupan rakyat sebagai agenda dari reformasi 1998. ketiadaan oposisi parlemen yang konsisten semakin memperparah keadaan ini. Rakyat yang telah lama kehilangan saluran aspirasinya kadung menganggap dirinya sendirian dalam menghadapi kemiskinan.
            Kefrustrasian ini juga digambarkan oleh Agus Jabo Priono, Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalam catatan petang yang saya terima dari broadcast blackberry masanger, menuliskan “Yang diatas hiruk pikuk, kesurupan, berebut jabatan serta anggaran, dan yang dibawah membanting tulang untuk menyambung kehidupoan, sedang partai politik sibuk dengan urusannya sendiri.”
            Akar masalahnya, menurut Jabo adalah karena Negara (Pemerintahan SBY-Budiono. red) kehilangan haluan, dan dampaknya bagi masyarakat adalah hilangnya kepercayaan, semangat serta harapan.

Solusi

Membangkitkan Kepercayaan Rakyat adalah Solusi dari Tindakan Kekerasan Massa. Kepercayaan rakyat tidak datang begitu saja secara tiba-tiba. Kepercayaan yang sudah lama hilang hanya dapat dipulihkan dengan menerapkan partisipasi massa sebagai instrumen dalam mengawal setiap langkah-langkah perbaikan kenegaraan.
Sebenarnya pendiri negara ini sudah cukup lengkap merumuskan dasar negara serta konstitusi yang menjamin partisipasi aktif rakyat dan menjamin keberpihakan negara atas kemakmuran rakyat. UUD 1945 adalah konstitusi yang memuat semangat kedaulatan rakyat, kemandirian nasional dan kepribadian bangsa menuju Indonesia yang sejahtera. Dan kesejahteraan rakyat Indonesia akan terlaksana jika Negara mau menjalankan pasal 33 UUD 1945 dengan benar dan konsisten, tentunya dengan penguasaan kekayaan alam Indonesia; meninjau ulang kontrak asing, melaksanakan reforma agraria, dan kembali menguasai aset-aset vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Kekerasan akan berkurang dengan sendirinya jika kehidupan rakyat dapat diperbaiki, dan diberi saluran aspirasi yang benar, partisipatoris dan berpihak kepadanya. Namun sepertinya, kepercayaan rakyat tidak akan pulih di masa pemerintahan SBY-Budiono yang telah banyak menyengsarakan kehidupan rakyat, dan lebih memilih patuh kepada lembaga keuangan dunia yang pro pasar bebas. Apalagi saat ini sang presiden tengah sibuk memperbaiki partainya yang nyaris kehilangan dukungan akibat banyaknya kasus korupsi yang melibatkan petinggi-petinggi partai Demokrat.
Rakyat memang membutuhkan penunjuk jalan dan akan bergerak aktif jika penujuk jalan itu benar-benar menunjukan jalan kebahagiaan kepadanya. Apakah ada perubahan di 2014? Semoga demikian adanya.


Randy Syahrizal adalah kader Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sumatera Utara, dan pengelola Blog Spartan News