Banyak orang sekarang ini, termasuk golongan kiri, melihat nasionalisme dalam satu wajah saja: chauvinis.
Bagi mereka ini, nasionalisme tak lebih sebagai ekspresi ideologi
borjuis. Karena itu, nasionalisme dalam segala manifestasinya akan
selalu mengancam perjuangan klas pekerja.
Mereka juga beranggapan, nasionalisme sudah pasti berlawanan dengan
semangat internasionalisme. Nasionalisme merayu klas pekerja untuk punya
tanah-air. Loyalitas klas pekerja dipaksakan pada sebuah kebangsaan.
Alhasil, kepentingan klas diringkus dalam bingkai “kepentingan
nasional”.
Tetapi sebetulnya tidak sepenuhnya demikian. gerakan pembebasan
nasional di negara-negara jajahan telah melahirkan nasionalisme dalam
wajah lain: anti-kolonialisme, populis, demokratis, dan humanis.
Bung Karno juga punya konsep nasionalisme sendiri:
sosio-nasionalisme. Namun, gara-gara jarang dibaca, apalagi dikaji
secara mendalam dan intensif, maka ajaran sosio-nasionalisme ini kurang
dikenal. Padahal, bagi saya, cita-cita sosio-nasionalisme ini justru
sejalan dengan cita-cita sosialisme.
Dasar Teori Sosio-Nasionalisme
Ajaran sosio-nasionalisme mulai muncul tahun 1930-an. Pada saat itu,
sudah muncul banyak gerakan nasionalis. Paling banyak adalah nasionalis
radikal: Tjipto Mangkusumo, Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan
lain-lain.
Ada dua ajaran yang sangat berpengaruh pada kelahiran sosio-nasionalisme:
Pertama, ajaran nasionalisme yang berkembang di Tiongkok dan India.
Bung Karno banyak mempelajari ajaran nasionalisme yang berkembang di
kedua negara tersebut. Kita tahu, ajaran nasionalisme di kedua negara
itu sangat progressif, anti-kolonialisme, dan humanistik. kita tentu sering mendengar kata-kata Mahatma Gandhi: My nationalism is humanity. Bagi Gandhi, menjadi patriotik nasionalis adalah karena kita manusia dan mencintai kemanusiaan.
Gandhi mengajarkan bentuk nasionalisme yang lain: nasionalisme yang
hendak mengorganisir bangsa-bangsa untuk hidup sederajat dan
berdampingan dengan bangsa-bangsa lain. Kata Gandi, jalan nasionalisme
India bukanlah melayani kepicikan, egoisme, kebangsaan sempit, dan
chauvinis. Sebaliknya, nasionalisme India hendak melayani kemanusiaan.
Kita juga mengenal nasionalis progressif dari dataran Tiongkok, Sun Yat Sen. Ajarannya sangat terkenal: San-min Chu-i
(tiga prinsip Rakyat), yaitu nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme.
Di tangan Sun Yan Set, cita-cita nasional Tiongkok hendak menggabungkan
tiga ajaran besar itu.
Kedua, ajaran marxisme. Bung Karno sangat terpengaruhi oleh marxisme.
Ia bahkan mengaku sebagai seorang marxis. Bagi Soekarno, marxisme
merupakan teori paling kompeten dalam memecahkan soal-soal sejarah,
politik, dan kemasyarakat.
Bung Karno sendiri pernah bilang, “Marxisme itulah yang membuat saya
punya nasionalisme berlainan dengan nasionalismenya nasionalis Indonesia
yang lain, dan Marxisme itulahyang membuat saya dari dulu benci
fasisme.”
Marxisme mempengaruhi analisa Bung Karno soal kolonialisme. Ia tak
melihat kolonialisme dari aspek rasialis: Suku, Agama, dan Ras. Karena
itu, nasionalisme Soekarno, karena dipengaruhi oleh marxisme, tak punya
kecenderungan sedikit pun untuk rasialis dan fasistik.
Bung Karno melihat kolonialisme, juga imperialisme, sebagai bentuk-bentuk akumulasi dari kapitalisme. Dalam pidato pembelaannya, Indonesia Menggugat,
ia mengatakan, nafsu akumulasi kapitalisme telah mendorongnya merampas
negeri-negeri lain dan mengubahnya menjadi jajahan; dan dari situ mereka
mengambil bekal industri, mendorong daerah-daerah pasar bagi hasil
industrinya, dan menciptakan lapangan baru bagi bergeraknya modal
mereka.
Namun, marxisme mempengaruhi Bung Karno sangat jauh. Ia menyadari,
menghilangkan kolonialisme tanpa menghilangkan kapitalisme sama saja
dengan omong-kosong. Itu sama dengan anekdok: keluar dari mulut singa,
masuk ke mulut buaya.
Karena itu, perjuangan pokok bangsa Indonesia tidaklah sekedar
anti-kolonialisme, tetapi harus mengarah pada anti-kapitalisme. Ia tak
hanya melawan kapitalisme bangsa lain, tetapi juga harus mencegah
kapitalisme bangsa sendiri.
Nasionalisme eropa dan Indonesia
Bung Karno membedakan antara nasionalisme eropa dan dunia timur
(jajahan). Bagi Bung Karno, nasionalisme eropa adalah suatu nasionalisme
yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar
keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi.
Kenapa bisa begitu? Sebab, nasionalisme eropa memang digerakkan oleh
nafsu kapitalisme. Karl Marx dalam Manifesto Komunis (1848) menjelaskan,
“Kebutuhan akan pasar yang senantiasa meluas untuk barang-barang
hasilnya mengejar borjuasi ke seluruh muka bumi. Ia harus bersarang di
mana-mana, bertempat di mana-mana, mengadakan hubungan-hubungan di
mana-mana.”
Bagi borjuis di eropa, negara nasional tak lain sebagai peralatan
mereka untuk menopang proses akumulasi, yaitu perluasan pasar, pencarian
bahan mentah, tenaga kerja murah, dan pencarian sirkuit baru bagi
akumulasi kapital.
Namun, berbeda halnya dengan nasionalisme di dunia timur (jajahan).
Nasionalisme di timur lahir karena eksploitasi kolonial. Dengan
demikian, mereka menentang segala bentuk kolonialisme. Nasionalisme di
timur banyak digerakkan ide-ide progressif: demokrasi, humanisme, dan
sosialisme.
Soekarno sangat mengakui hal itu. Ia bilang, “Nasionalisme di dunia
Timur itu lantas ‘berkawinlah’ dengan Marxisme itu, menjadi satu
nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu itikad baru, satu senjata
perjuangan yang baru, satu sikap hidup yang baru. Nasionalisme-baru
inilah yang kini hidup di kalangan Rakyat Marhaen Indonesia.”
Esensi Sosio-Nasionalisme
Bung Karno mendefenisikan sosio-nasionalisme sebagai nasionalisme
massa-rakyat, yaitu nasionalisme yang mencari selamatnya massa-rakyat.
Bung Karno mengatakan, cita-cita sosio-nasionalisme adalah
memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat, sehingga masyarakat
yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada lagi kaum
tertindas, tidak ada kaum yang celaka, dan tidak ada lagi kaum yang
papa-sengsara.
Karena itu, kata Bung Karno, sosio-nasionalisme adalah nasionalisme
kaum marhaen. Dengan demikian, sosio-nasionalisme menentang borjuisme
dan keningratan. Inilah tipe nasionalisme yang menghendaki “masyarakat
tanpa klas”.
Sebagai konsekuensinya, sosio-nasionalisme menganggap kemerdekaan
nasional bukan sebagai tujuan akhir. Bung Karno berulang-kali menyatakan
kemerdekaan hanya sebagai “jembatan emas” menuju cita-cita yang lebih
tinggi.
Dalam tulisannya, “Mencapai Indonesia Merdeka”, yang diterbitkan pada
tahun 1933, Bung Karno menegaskan bahwa tujuan pergerakan nasional kita
mestilah mengarah pada pencapaian masyarakat adil dan sempurna, yang di
dalamnya tidak ada lagi penghisapan. Berarti, tidak boleh ada
imperialisme dan kapitalisme.
Nah, supaya kemerdekaan politik itu tidak disabotase oleh
imperialisme, ataupun oleh kaum borjuis dan feodal di dalam negeri, maka
kekuasaan politik indonesia pasca merdeka haruslah dipegang oleh kaum
marhaen atau massa-rakyat Indonesia. Inilah esensi dari sosio-demokrasi
(Kita akan membahasnya di artikel lain).
Bung Karno kuat-kuat berpesan, “dalam perjuangan habis-habisan
mendatangkan Indonesia Merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan
sampai nanti mereka yang kena getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya.”
Karena sosio-nasionalisme bervisi “social conscience of man”
(budi nurani sosial manusia), maka semangat sosio-nasionalisme adalah
internasionalisme. Dalam pidato 1 Juni 1945—lahirnya Pancasila, Soekarno
menjelaskan hubungan dialektik antara nasionalisme Indonesia dan
internasionalisme: Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau
tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat
hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme.
Dengan demikian, sosio-nasionalisme bisa disederhanakan sebagai
berikut: (1) sosio-nasionalisme merupakan ajaran politik yang
memperjuangkan masyarakat tanpa klas alias masyarakat adil dan
makmur. (2) sosio-nasionalisme memberi kerangka pada revolusi Indonesia
agar tak berhenti pada revolusi nasional semata, tetapi harus berlanjut
pada transisi menuju sosialisme. (3) Sosio-nasionalisme meletakkan
semangat kebangsaan negeri terjajah berjalan seiring dengan cita-cita
internasionalisme.
Kusno, Kader Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Mengenal Sosio-Nasionalisme Bung Karno
Search
Pengunjung
Kategori
- Berdikari (14)
- Internasional (4)
- Kabar Juang (3)
- Kabar Rakyat (4)
- Organisasi (1)
- Politik (8)
- sastra (1)
- Soekarnoisme (6)
- Statement (5)
- Tokoh (4)
Jaringan
Mengenai Saya
- Randy Syahrizal
- mempunyai minat menulis sejak kuliah di Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra USU tahun 2003. Pernah menulis di beberapa media lokal (Sumatera Utara) dan Media Online Nasional. Blog pribadi saya : http://ceritadarimedan.blogspot.com
0 Comments Received
Leave A Reply